"Arunika di ujung cakrawala di sebrang samudra, indah sekali ya? Persis seperti namamu, sayang. Arunika, kamu lahir saat fajar menyingsing," kata Ayah mengelus lembut rambut anaknya.
Naleeka mengangguk kagum dan menyaksikan pemandangan itu bersama sang Ayah.
"Mari, Ayah antar kamu ke kapal tua itu, terbang bersama Junior ke bibir pantai untuk mengantarmu pulang," kata Ayah yang menggandeng tangan Naleeka kemudian menumpang di punggung Junior lagi.
Mereka terbang menyentuh langit pagi dengan awan-awan selembut kapas. Kepakan sayap Junior yang senyap memberikan kesan damai karena satu-satunya suara yang didengar hanyalah terpaan angin.
Baik Ayah dan Naleeka, keduanya segera mengangkat tangannya seraya memejamkan mata. Buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya. Setelah puas mengarungi langit yang luas, Junior mendarat dengan sangat hati-hati agar Raja dan putrinya tidak kesakitan.
"Ayah, apakah aku bisa mampir kemari lagi?" tanya Naleeka sementara Ayah membantunya naik ke atas geladak kapal kayu tua itu.
Senyum tipis terulas di wajah Ayah, ia menatap mata coklat anaknya lekat-lekat, "Suatu saat nanti, sayang. Suatu saat nanti kita akan berjumpa di sini lagi."
"Bagaimana dengan besok atau lusa? Atau saat Ayah telat pulang, apakah aku boleh mampir ke sini lagi?"
Suara Naleeka bergetar dan mulai parau. Matanya kembali berembun karena tahu ada kenyataan yang semakin jelas tersingkap lewat pertemuan singkat ini.
 Ayah kembali mendekapkan rengkuhannya, tak ingin melepaskan Naleeka tetapi waktunya tidak banyak.
"Ayah lega kamu bisa menjadi gadis yang tangguh, Ayah sangat menyayangimu. Ayah akan merindukanmu, sekarang pergilah dan tolong jaga Ibu untuk Ayah, oke?"