Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resilience

21 September 2024   05:15 Diperbarui: 21 September 2024   08:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debur ombak menyapa gendang telinga saat Naleeka tengah duduk bersantai di bibir pantai pada sebuah kapal kayu berlubang yang dibiarkan pemiliknya di sana. Walaupun santai, mata bulat kecokelatannya yang menyeruak ke dalam sedang awas menatap lampu mercusuar di pulau seberang.

Hanya ditemani cahaya bulan berwarna perak nan pucat bersama pasukan bintang yang setia mengelilingi. Naleeka mengangkat lampu petromaks untuk ditaruh lebih dekat dengan pahanya.

Cahaya kuning berlendir menerangi.


Gadis itu sesekali mengeratkan selimut bulu domba pemberian Ayah saat angin samudra bertiup dengan ganas---menusuk kulit hingga masuk ke tulang.


Naleeka Arunika, gadis 11 tahun berkulit sawo matang dengan rambut bondol, memiliki koleksi gelang rajutan di pergelangan tangan kanannya. Suka menyendiri di pinggir pantai, dari pukul sembilan hingga dua belas, menyaksikan bulan membuat air laut pasang, dan menanti Ayah yang belum kunjung pulang.


Seharusnya Ayah pulang ke rumah seminggu lalu. Dia bekerja sebagai penjaga mercusuar dalam kurun waktu enam bulan dan waktu berlibur hanya seminggu sebelum akhirnya bertolak ke markasnya lagi.


Namun, dari sekian banyak kenangan Naleeka bersama pantai. Ia sangat menyukai suara debur ombak. Baginya, alunan ombak yang kadang ribut dan lembut itu ibaratkan bunyi yang didengarnya kala masih hidup di dalam rahim Ibu.


Sudah pasti, dia tidak ingat dengan jelas. Namun jika boleh berandai, bunyi-bunyian di dalam rahim Ibu yang hangat dan nyaman, sah saja jika disamakan dengan debur ombak yang mengguyur pasir putih berdesik.


Naleeka berpikir demikian sebab, ia merasa tenang saat mendengarnya, seperti dejavu, semua ini terasa tidak asing.


Mata awasnya membesar saat melihat lampu mercusuar tiba-tiba padam. Naleeka beranjak dari geladak kapal kayu, mengucek matanya dua kali untuk memastikan bahwa fenomena ini bukanlah halusinasi. Hingga ia membuka mata lagi, ternyata benar, lampunya padam.


Naleeka bergegas lari ke dalam rumah, menjatuhkan selimutnya lalu melangkah di atas pasir-pasir putih nan lembut dengan tergesa dan penuh kecemasan untuk mengadukan kejanggalan ini kepada Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun