“Ya aku tahu.”
“Aku menangkap kupu-kupu bukan untuk mencuri kebebasannya, tapi untuk menemaniku.”
“Kau sudah pernah katakan itu.”
“Kau selalu menyamaratakan makna kebebasan. Karena kebebasan bukan berarti kau bisa berlaku sekendak hati. Selalu ada batas-batas. Tak perlu khawatir, sesungguhnya tak mengenal beda apakah kau telah menikah atau sendiri. Semua keinginanmu bisa tercapai secara bersama-sama.”
“Kau pintar sekarang, Zie!”
“Kaulah yang membuatku terus berpikir tentang kebebasan dan kupu-kupu itu.”
“Tapi aku tak begitu mengenalnya, Zie! Dia seperti orang asing. Apakah aku bisa mencintainya nanti?”
“Apalah arti cinta kepada sesama manusia, Mi, jika kau melakukan itu karena rasa cintamu kepada Sang Pencipta Cinta. Cinta itu mudah datang jika Allah telah meniupkannya di dada kalian. Cinta yang hakiki. Bukan cinta karena pandangan dan nafsumu sendiri. Dan Allah pasti menjaganya itu menjadi kekal. Ah, kau tentu lebih paham dariku.”
“Lihatah! Aku ternyata lebih mengenalmu daripada Aini. Dan kau lebih mengenal cinta daripada aku.”
“Kau tak mengenalku sebaik itu. Pemahaman cinta itu aku dapat dari Ummi Maemun di pengajiannya pekan lalu, selebihnya aku belajar dari lirik-lirik lagu cinta.”
Tawa Fahmi kembali pecah. Lalu bersisa pada senyum-senyum kecil terputus. “Ah, kau pasti akan dijewer Ummi Maemun jika kau lebih hapal lirik lagu daripada surat-surat Al-Qur’an.”