”Lepas ‘tu bawakan kue-kue ini pada Haji Jafar. Pastikan sudah beliau terima sebelum Magrib. Kau dengar, Zie?”
“Iya, Ummi!” Suara itu keluar bersamaan dengan tubuhnya menuju tempat cuci di belakang rumah. Alat untuk menyiramnya tergantung di situ. Segera diraihnya dengan kedua tangan. Melewati dapur, terlihatlah Ummi tengah mengatur kue-kue dalam nampan. Banyak betul. Pasti ada kenduri di rumah Haji Jafar, pikir Azizah. Tapi kenduri apa? Azizah tak banyak bertanya.
****
Halaman depan rumah Azizah memang luas. Tubuh kecilnya saat SD dulu sering kali berlari mengitarinya. Mencoba menangkap kupu-kupu yang kerap hinggap di salah satu kuncup tanaman bunga milik orang tuanya. Kian hari tanaman bunga itu kian menghabisi gerak Azizah untuk bisa berlari bebas seperti dahulu. Tiap minggunya selalu saja bertambah jenis bunga yang ditanam ayahnya. Lalu dijelaskan kepadanya bagaimana sebaiknya tanaman itu dirawat, kapan dan berapa kali dia harus disiram. Karena itulah tugas Azizah selanjutnya. Merawat dan menyiraminya baik-baik.
“Zie!!!”
Tubuh Azizah berguncang. Air dalam alat penyiram itu hampir saja tumpah mengenai roknya. Halifah, si pembuat kejutan itu, hanya tertawa kecil menyambut bibir kecut Azizah. Dia teman satu sekolahnya di aliyah.
“Serius betul kau, Zie!”
Azizah tak bereaksi banyak, juga tak acuh saja tubuhnya dikuntit menyusuri tanaman-tanaman bunga yang minta diairi. “Hei, kau tahu kabar Fahmi, tak?”
Azizah menyela dengan hembusan napasnya sesaat, kemudian kembali lagi melanjutkan pekerjaannya.
“Dua hari lalu dia pulang dari Jawa, diantar pamannya yang tinggal di sana. Sudah lulus pesantren dia. Aku sempat tengok dia tengah bersama ayahnya sepulang dari pasar tadi. Kau tahu? Makin tampan saja dia.”
Entah apa makna senyum-senyum Halifah di hadapannya. Azizah merasa tak ada yang luar biasa dari cerita Halifah itu.