“Kau rupanya!” begitu saja. Lalu tatapannya terkunci lurus pada jalanan di hadapannya.
“Ya, aku!”
“Tidakkah sebaiknya kau mengucapkan salam terlebih dahulu?”
Fahmi kembali tersenyum. Lepaslah tatapannya sesaat dari menilik ujung kerudung Azizah. “Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarmu?”
“Walaikum salam, alhamdulillah!” parau saja jawaban Azizah. “Kudengar kau baru saja datang dari Jawa.”
“Ya. Alhamdulillah, sekolahku selesai.” Fahmi kerap berusaha mencuri pandang pada mata Azizah yang terus mengarah ke depan.
“Kau cepat besar ya?”
Ada-ada saja pertanyaan itu. Tentu sajalah, Apakah dia pikir aku tetap saja kecil seperti yang dia ingat dulu, pikir Azizah. “Lebaran lalu, aku pun sudah sebesar ini. Apakah kau ingin aku tetap kecil terus?”
Entah apanya yang lucu, tapi itu jelas membuat tawa Fahmi terlontar renyah, Kekakuan ini sepertinya mencair sudah. Tubuhnya kembali beranjak. Dia tak ingin tertinggal dari langkah-langkah Azizah, meski tak juga berkeras untuk mendahuluinya. Langkahnya sengaja dibuat seirama hinga tubuhnya kini sejajar dengan stang sepeda yang dituntun Azizah. Di depannya bertumpuk kue tertata dalam keranjang.
“Hendak kau bawa kemana kue-kue ini?”
“Haji Jafar. Ada yang hendak melamar putrinya malam nanti.”