PENCURI KUPU-KUPU
Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="attachment_199330" align="aligncenter" width="400" caption="Koleksi Baluran and Me"][/caption]
Filosofi kupu-kupu itu seolah memakan persasaannya sendiri. Ini mengingatkannya lagi pada kupu-kupu yang terbang bebas setelah terperangkap pada jebakan plastiknya. Kupu-kupu yang mencari bunga kebahagiaan, bersama siapapun dia akan menemaninya
Azizah berbegas mematikan pemutar MP3 di hand phonenya. Lagu Firework dari Katy Perry yang menghentak di telinganya ikut juga menghilang. Kepalanya kemudian melongok mengarah ke pintu kamar. Terbuka sedikit. Dari sana tadi suara ibunya menyelinap mengingatkan Azizah untuk shalat Ashar.
“Sudah, Ummiii!”
Sudah lewat pukul empat. Keterlaluan jika selarut ini shalat Ashar belum juga dikerjakan. Jika pun kebetulan Azizah benar-benar lupa, dia tetap akan menjawab sudah. Kemudian sembunyi-sembunyi mengambil air wudhu dan bershalat Ashar di kamar dengan pintu tertutup rapat. Akan menjadi bencana besar jika Aba sampai tahu kewajiban lima waktunya itu terlambat dikerjakan. Tak sampai dimarahi memang, tapi omelannya pasti akan terus terdengar sampai beberapa puluh menit kemudian. Ditambah rasa bersalah dan tak enak hati yang sepertinya akan baru hilang keesokan harinya.
“Sudah sore, lekaslah kau siram tanaman! Ummi lihat sudah ada adenium yang layu.”
Azizah merentangkan tubuhnya jauh-jauh. Pekerjaan sorenya siap menyambut. Tak pantas lagi dia bermalas-malas di dalam kamar. Lekas berdirilah ia mematut cermin, merapikan sedikit letak kerudungnya sampai terlihat pantas benar.
”Lepas ‘tu bawakan kue-kue ini pada Haji Jafar. Pastikan sudah beliau terima sebelum Magrib. Kau dengar, Zie?”
“Iya, Ummi!” Suara itu keluar bersamaan dengan tubuhnya menuju tempat cuci di belakang rumah. Alat untuk menyiramnya tergantung di situ. Segera diraihnya dengan kedua tangan. Melewati dapur, terlihatlah Ummi tengah mengatur kue-kue dalam nampan. Banyak betul. Pasti ada kenduri di rumah Haji Jafar, pikir Azizah. Tapi kenduri apa? Azizah tak banyak bertanya.
****
Halaman depan rumah Azizah memang luas. Tubuh kecilnya saat SD dulu sering kali berlari mengitarinya. Mencoba menangkap kupu-kupu yang kerap hinggap di salah satu kuncup tanaman bunga milik orang tuanya. Kian hari tanaman bunga itu kian menghabisi gerak Azizah untuk bisa berlari bebas seperti dahulu. Tiap minggunya selalu saja bertambah jenis bunga yang ditanam ayahnya. Lalu dijelaskan kepadanya bagaimana sebaiknya tanaman itu dirawat, kapan dan berapa kali dia harus disiram. Karena itulah tugas Azizah selanjutnya. Merawat dan menyiraminya baik-baik.
“Zie!!!”
Tubuh Azizah berguncang. Air dalam alat penyiram itu hampir saja tumpah mengenai roknya. Halifah, si pembuat kejutan itu, hanya tertawa kecil menyambut bibir kecut Azizah. Dia teman satu sekolahnya di aliyah.
“Serius betul kau, Zie!”
Azizah tak bereaksi banyak, juga tak acuh saja tubuhnya dikuntit menyusuri tanaman-tanaman bunga yang minta diairi. “Hei, kau tahu kabar Fahmi, tak?”
Azizah menyela dengan hembusan napasnya sesaat, kemudian kembali lagi melanjutkan pekerjaannya.
“Dua hari lalu dia pulang dari Jawa, diantar pamannya yang tinggal di sana. Sudah lulus pesantren dia. Aku sempat tengok dia tengah bersama ayahnya sepulang dari pasar tadi. Kau tahu? Makin tampan saja dia.”
Entah apa makna senyum-senyum Halifah di hadapannya. Azizah merasa tak ada yang luar biasa dari cerita Halifah itu.
“Sudah tampan, kaya, shaleh pula. Ah …!” Tubuh Halifah seolah sengaja ingin dihempaskan.
“Istighfar, Fah!”
“Ah, kau ini Zie. Takkah kau impikan lelaki macam itu?”
“Tidak, kalau cuma mimpi.”
“Huh!” sergah Halifah mengikuti langkah Azizah menuju sumber air guna mengisi alat menyiramnya. “Takkah kau ingat betapa akrabnya kalian sewaktu kecil? Aku kadang sering kali kalian acuhkan.”
Tentu saja Azizah ingat. Itu belum terlalu lama. Dia masih bisa merasakan sakitnya bekas luka di lututnya saat terjatuh di parit. Fahmi sering mengolok-oloknya sebagai gadis pencuri kupu-kupu, tiap kali dia kedapatan tengah mengejar kupu-kupu sampai dekat perbatasan dusun. Olok-olok itulah yang mengalihkan kejarannya kepada Fahmi. Emosinya mengalir dua kali lipat dalam acungan tongkat kayu berselubung plastik di ujungnya. Mungkin karena itulah dia jadi tak hati-hati. Terjerembab ke dalam parit. Lalu menangis sejadinya. Azizah baru menerima maaf Fahmi tiga hari setelahnya, saat keberanian anak lelaki itu muncul untuk bertemu.
“Dia anak badung …,” desis Azizah terkesan tak terdengar.
“Ya. Dan kau pun menangisinya pula selepas SMP saat dia dikirim orang tuanya bersekolah ke Jawa.”
Oh, itu empat tahun yang lalu. Azizah ingat tangisan itu, semata-mata bukan dia tujukan pada Fahmi. Tidak. Itu hanya untuk sebuah kekosongan saja. Dan dia patut menangisi hal seperti itu. Memang ada yang berbeda. Saat dia mulai berhenti mengejar kupu-kupu, Fahmi kerap memboncengkannya menyusur kampung. Mengantarkan pesanan bunga-bunga pada pembeli di dusun sebelah. Di lain waktu Fahmi akan menceramahinya tentang kebebasan. Lagi-lagi dikarenakan kupu-kupu. Katanya, celakalah orang-orang yang merampas kebebasan makhluk lain. Setiap makhluk punya nalurinya sendiri untuk mewujudkan kebebasannya.
Sejak empat tahun lalu tak ada lagi hal-hal serupa itu singgah dalam hidup Azizah. Menangislah ia, terutama karena kekosongan. Persis seperti lembar-lembar pada buku diary yang ditinggalkan Fahmi di telepak tangannya.
“Isilah dengan kisahmu. Jika kau malas bercerita saat kita bertemu kelak, aku cukup membacanya saja.” Begitu Fahmi berucap, tiga hari sebelum mobil pick-up milik ayahnya membawanya menghilang.
Azizah masih kelas dua tsanawiyah saat itu. Masa di mana dia masih meraba-raba dalam remang. Seperti juga yang dirasa hatinya. Tak ada yang benar-benar bisa dia yakini atas gejolak perasaannya. Kadang begetar kemudian hilang. Begitu pula dengan nasib diary yang dititipkan Fahmi, dia pernah memenuhi lembarannya sampai minggu pertama, kemudian sama sekali tak dibukannya setelah bulan kedua.
“Zie …, sudah penuh!”
Azizah terkesiap. Cepat-cepat dimatikan kran air yang terus meluberkan isi alat penyiram itu.
“Kau memikirkannya?”
“Tidak!” tegas-tegas Azizah membantah.
“Memang tak perlu kalau begitu. Sebab bersama keluarganya, Fahmi akan berkunjung ke rumah Haji Jafar malam ini. Kudengar, akan ada khitbah di sana.”
Sedetik. Dia yakini hanya sedetik. Ada yang menghujam jantungnya dan membuatnya berhenti.
****
Seingatnya Dusun Atas Air itu akan lebih cepat dicapai lewat jalan kecil ini. Tak terlalu ramai memang, tapi Azizah menyukai suasana dan pemandangan yang membentuknya. Selalu menentramkan pandangannya. Rumah Haji Jafar hanya berjarak dua tikungan saja jika sepedanya telah tiba pada tugu dusun. Sepeda itu dia kayuh lambat-lambat. Sekali waktu jika jalanan cukup terjal oleh bebatu kali, dituntunnyalah dengan hati-hati. Seperti saat ini. Khawatir guncangan akan merusak kue-kue yang dibawanya.
“Kau masih setia juga dengan sepeda ini?”
Sebuah suara tiba-tiba menghampiri, menghentikan langkah-langkah kecilnya. Suara lelaki. Pandangannya lalu tertoleh. Menubruk sebentuk senyum yang dia kenal betul. Senyum milik Fahmi. Ada yang berdegup di dadanya tiba-tiba, tapi dia yakin tak ‘kan bertahan lama. Ah, sedang apa pula dia di sini?
“Kau rupanya!” begitu saja. Lalu tatapannya terkunci lurus pada jalanan di hadapannya.
“Ya, aku!”
“Tidakkah sebaiknya kau mengucapkan salam terlebih dahulu?”
Fahmi kembali tersenyum. Lepaslah tatapannya sesaat dari menilik ujung kerudung Azizah. “Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarmu?”
“Walaikum salam, alhamdulillah!” parau saja jawaban Azizah. “Kudengar kau baru saja datang dari Jawa.”
“Ya. Alhamdulillah, sekolahku selesai.” Fahmi kerap berusaha mencuri pandang pada mata Azizah yang terus mengarah ke depan.
“Kau cepat besar ya?”
Ada-ada saja pertanyaan itu. Tentu sajalah, Apakah dia pikir aku tetap saja kecil seperti yang dia ingat dulu, pikir Azizah. “Lebaran lalu, aku pun sudah sebesar ini. Apakah kau ingin aku tetap kecil terus?”
Entah apanya yang lucu, tapi itu jelas membuat tawa Fahmi terlontar renyah, Kekakuan ini sepertinya mencair sudah. Tubuhnya kembali beranjak. Dia tak ingin tertinggal dari langkah-langkah Azizah, meski tak juga berkeras untuk mendahuluinya. Langkahnya sengaja dibuat seirama hinga tubuhnya kini sejajar dengan stang sepeda yang dituntun Azizah. Di depannya bertumpuk kue tertata dalam keranjang.
“Hendak kau bawa kemana kue-kue ini?”
“Haji Jafar. Ada yang hendak melamar putrinya malam nanti.”
Helaan panjang terhembus. Disusul senyap yang dibuat Fahmi beberapa detik. “Kau sudah tahu ….”
“Ya …, dan baiknya kau lekas pergi. Tak elok dipandang orang jika kau masih terlhat berjalan dengan seorang gadis.”
Sungguh, ini bukan sebuah pertemuan yang diharapkan Fahmi. Upaya melepas rindu pada sahabat kecilnya terpaksa harus terganggu dengan kabar yang juga masih mengagetkan dirinya. Tapi semua tak menyurutkan langkah Fahmi mengikuti arah jalan Azizah menuju tugu dusun.
“Kau tahu berapa usiaku?”
“19.”
“Kau pikir sudah sebesar itu hasratku untuk menikah?” Azizah tak bereaksi banyak. Meski dia tak menuntut penjelasan, namun dia mengharap ada alasan masuk akal yang bisa disampaikan Fahmi. “Ini semacam perjanjian dua keluarga. Jika pendidikan kami rampung, mereka sudah berencana membuat ikatan antar kedua keluarga ini dipererat. Khawatir kalau ada orang yang meminangnya terlebih dahulu.”
“Tapi itu tak menahanmu, kan?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, kau memang pantas berjodoh dengan Aini, putri Haji Jafar itu. Dia gadis yang cantik, juga baik. Kudengar dia pun baru saja selesai sekolah agama di kota. Jangan lagi tanya tentang keluarganya, mereka orang-orang berbudi dan terpandang. Apa lagi yang merisaukan kau?”
“Tak tahulah, aku hanya merasa ini terlalu cepat. Masih banyak lagi yang belum kuraih di usiaku yang semuda ini. Mungkin aku ingin kembali bersekolah, atau merantau. Aku masih ingin bebas seperti kupu-kupu yang sering kau kejar.”
“Aku tak lagi mengejar kupu-kupu!” tegas Azizah.
“Ya aku tahu.”
“Aku menangkap kupu-kupu bukan untuk mencuri kebebasannya, tapi untuk menemaniku.”
“Kau sudah pernah katakan itu.”
“Kau selalu menyamaratakan makna kebebasan. Karena kebebasan bukan berarti kau bisa berlaku sekendak hati. Selalu ada batas-batas. Tak perlu khawatir, sesungguhnya tak mengenal beda apakah kau telah menikah atau sendiri. Semua keinginanmu bisa tercapai secara bersama-sama.”
“Kau pintar sekarang, Zie!”
“Kaulah yang membuatku terus berpikir tentang kebebasan dan kupu-kupu itu.”
“Tapi aku tak begitu mengenalnya, Zie! Dia seperti orang asing. Apakah aku bisa mencintainya nanti?”
“Apalah arti cinta kepada sesama manusia, Mi, jika kau melakukan itu karena rasa cintamu kepada Sang Pencipta Cinta. Cinta itu mudah datang jika Allah telah meniupkannya di dada kalian. Cinta yang hakiki. Bukan cinta karena pandangan dan nafsumu sendiri. Dan Allah pasti menjaganya itu menjadi kekal. Ah, kau tentu lebih paham dariku.”
“Lihatah! Aku ternyata lebih mengenalmu daripada Aini. Dan kau lebih mengenal cinta daripada aku.”
“Kau tak mengenalku sebaik itu. Pemahaman cinta itu aku dapat dari Ummi Maemun di pengajiannya pekan lalu, selebihnya aku belajar dari lirik-lirik lagu cinta.”
Tawa Fahmi kembali pecah. Lalu bersisa pada senyum-senyum kecil terputus. “Ah, kau pasti akan dijewer Ummi Maemun jika kau lebih hapal lirik lagu daripada surat-surat Al-Qur’an.”
Senyum itu kini terbagi rata di bibir Fahmi juga Azizah. Keriangan ini seolah mengingatkan Azizah pada tahun-tahun saat bersama, sebuah masa yang sudah harus dilupakannya. Semua segera berubah. Lelaki ini akan memasuki masa yang membuat batas kenangan bersama mereka menjadi benar-benar tegas.
Senja jatuh. Matahari kian kuasa merebahkan sinarnya pada pungung bumi. Membuat bayang-bayang kian tercipta panjang. Di hadapan mereka tugu dusun Atas Air sudah sedemikian jelas terlihat. Orang-orang pun makin sering ditemukan berpapasan.
“Kau harus pergi sekarang.”
“Ya, aku tahu ….”
“Berbahagialah, Mi! Allah pasti sudah menyiapkan rencana untukmu.”
“Terima kasih,” tarikan napas Fahmi terdengar sangat panjang. “Seperti yang kau tahu tak ada yang bisa berlari dari ketentuan Allah bukan? Mungkin aku memang harus menjadi kupu-kupu untuk menemani seseorang.”
Senyum Fahmi kali ini tak bisa dimaknai Azizah dengan benar. Seperti ada yang mengganggu benaknya. Filosofi kupu-kupu itu seolah memakan persasaannya sendiri. Ini mengingatkannya lagi pada kupu-kupu yang terbang bebas setelah terperangkap pada jebakan plastiknya. Kupu-kupu yang mencari bunga kebahagiaan, bersama siapapun dia akan menemaninya.
“Assalamualaikum, Zie!”
Salam itu terlontar lemah, tapi tak selemah seperti yang mampu Azizah balas sebelum punggung lelaki itu berbalik. “Wa’alaikum salam ....”
Fahmi kemudian berlalu. Pandangan Azizah masih setia menguntitnya sampai saat namanya disebut, “Zie …!”
“Ya ….”
“Kau boleh terus menuliskan diary itu sampai kita bertemu lagi nanti.”
Azizah tersenyum. Tanpa makna.
****
“Bawakan sisa kue di dapur untuk Aba-mu, Zie!”
“Iya, Ummi!”
Di ruang tamu, Aba terduduk. Melepaskan peci ke atas meja hingga telungkup tangannya leluasa merapikan rambutnya terayun ke arah belakang.
“Lekas betul acaranya?”
“Tak jadi ….”
“Hah! Bagaimana bisa begitu?”
“Entahlah. Tak guna rasanya Haji Ismail menyekolahkan anaknya itu jauh-jauh ke Jawa. Dibikinnya ia tak tahu cara membalas budi. Tak cukup dengan ‘tu, ia pun coreng wajah keluarganya di hadapan keluarga Haji Jafar dan semua tetamu yang hadir. Keterlaluan sekali. Iba aku lihat paras kedua keluarga itu.”
“Apa persoalannya?”
“Si Fahmi tak juga tampak sampai lepas jam sembilan, tak ada kabar sama sekali.”
“Astaghfirullahaldziim ….”
Gumaman yang sama hampir pula terlontar dari bibir Azizah. Mendadak langkahnya berhenti. Badannya hampir teriring menuju ruang tengah. Tapi tertahan, karena lunglai telah menghuyungkan tubuhnya merapat ke dinding. Ada sesak yang tiba-tiba mendera dadanya. Tapi entah untuk menunjukkan rasa apa, dia hanya meyakini Fahmi telah melakukan hal yang salah. Dia ingkar. Dia lebih memilih menjadi kupu-kupu yang bebas.
****
khitbah=lamaran
Cirebon, 10 Februari 2012
Sumber Gambar diambil dari Baluran and Me
Sebuah cerpen lama, mencoba kembali menjadi abegeh :D