Azizah masih kelas dua tsanawiyah saat itu. Masa di mana dia masih meraba-raba dalam remang. Seperti juga yang dirasa hatinya. Tak ada yang benar-benar bisa dia yakini atas gejolak perasaannya. Kadang begetar kemudian hilang. Begitu pula dengan nasib diary yang dititipkan Fahmi, dia pernah memenuhi lembarannya sampai minggu pertama, kemudian sama sekali tak dibukannya setelah bulan kedua.
“Zie …, sudah penuh!”
Azizah terkesiap. Cepat-cepat dimatikan kran air yang terus meluberkan isi alat penyiram itu.
“Kau memikirkannya?”
“Tidak!” tegas-tegas Azizah membantah.
“Memang tak perlu kalau begitu. Sebab bersama keluarganya, Fahmi akan berkunjung ke rumah Haji Jafar malam ini. Kudengar, akan ada khitbah di sana.”
Sedetik. Dia yakini hanya sedetik. Ada yang menghujam jantungnya dan membuatnya berhenti.
****
Seingatnya Dusun Atas Air itu akan lebih cepat dicapai lewat jalan kecil ini. Tak terlalu ramai memang, tapi Azizah menyukai suasana dan pemandangan yang membentuknya. Selalu menentramkan pandangannya. Rumah Haji Jafar hanya berjarak dua tikungan saja jika sepedanya telah tiba pada tugu dusun. Sepeda itu dia kayuh lambat-lambat. Sekali waktu jika jalanan cukup terjal oleh bebatu kali, dituntunnyalah dengan hati-hati. Seperti saat ini. Khawatir guncangan akan merusak kue-kue yang dibawanya.
“Kau masih setia juga dengan sepeda ini?”
Sebuah suara tiba-tiba menghampiri, menghentikan langkah-langkah kecilnya. Suara lelaki. Pandangannya lalu tertoleh. Menubruk sebentuk senyum yang dia kenal betul. Senyum milik Fahmi. Ada yang berdegup di dadanya tiba-tiba, tapi dia yakin tak ‘kan bertahan lama. Ah, sedang apa pula dia di sini?