“Sudah tampan, kaya, shaleh pula. Ah …!” Tubuh Halifah seolah sengaja ingin dihempaskan.
“Istighfar, Fah!”
“Ah, kau ini Zie. Takkah kau impikan lelaki macam itu?”
“Tidak, kalau cuma mimpi.”
“Huh!” sergah Halifah mengikuti langkah Azizah menuju sumber air guna mengisi alat menyiramnya. “Takkah kau ingat betapa akrabnya kalian sewaktu kecil? Aku kadang sering kali kalian acuhkan.”
Tentu saja Azizah ingat. Itu belum terlalu lama. Dia masih bisa merasakan sakitnya bekas luka di lututnya saat terjatuh di parit. Fahmi sering mengolok-oloknya sebagai gadis pencuri kupu-kupu, tiap kali dia kedapatan tengah mengejar kupu-kupu sampai dekat perbatasan dusun. Olok-olok itulah yang mengalihkan kejarannya kepada Fahmi. Emosinya mengalir dua kali lipat dalam acungan tongkat kayu berselubung plastik di ujungnya. Mungkin karena itulah dia jadi tak hati-hati. Terjerembab ke dalam parit. Lalu menangis sejadinya. Azizah baru menerima maaf Fahmi tiga hari setelahnya, saat keberanian anak lelaki itu muncul untuk bertemu.
“Dia anak badung …,” desis Azizah terkesan tak terdengar.
“Ya. Dan kau pun menangisinya pula selepas SMP saat dia dikirim orang tuanya bersekolah ke Jawa.”
Oh, itu empat tahun yang lalu. Azizah ingat tangisan itu, semata-mata bukan dia tujukan pada Fahmi. Tidak. Itu hanya untuk sebuah kekosongan saja. Dan dia patut menangisi hal seperti itu. Memang ada yang berbeda. Saat dia mulai berhenti mengejar kupu-kupu, Fahmi kerap memboncengkannya menyusur kampung. Mengantarkan pesanan bunga-bunga pada pembeli di dusun sebelah. Di lain waktu Fahmi akan menceramahinya tentang kebebasan. Lagi-lagi dikarenakan kupu-kupu. Katanya, celakalah orang-orang yang merampas kebebasan makhluk lain. Setiap makhluk punya nalurinya sendiri untuk mewujudkan kebebasannya.
Sejak empat tahun lalu tak ada lagi hal-hal serupa itu singgah dalam hidup Azizah. Menangislah ia, terutama karena kekosongan. Persis seperti lembar-lembar pada buku diary yang ditinggalkan Fahmi di telepak tangannya.
“Isilah dengan kisahmu. Jika kau malas bercerita saat kita bertemu kelak, aku cukup membacanya saja.” Begitu Fahmi berucap, tiga hari sebelum mobil pick-up milik ayahnya membawanya menghilang.