Ia mengangguk. Ada banyak pertanyaan di kepalaku, berenang seperti ikan di kolam. Namun entah mengapa, yang terjadi bagaikan mimpi yang tidak bisa kuganggu alurnya.
"Aku ingin menjadi pemusik. Penulis lagu terkenal." Pernyataan itu keluar dengan sendirinya seperti alunan lagu.
"Bukankah itu juga berisiko?" Ia tertawa kecil menanggapiku dan mengganti posisi duduknya. Aku meringis, tahu akan risikonya, melihatnya dengan mata sendiri. Aisha dengan ambisinya, Raven yang berkabut.
Saat aku mengingat alasan mengapa aku mencintai musik dan kegetiran untuk melanjutkannya, sebuah suara berucap, "Berarti kamu bukan kucing yang penakut." Kai menatapku lembut, dan begitulah caranya berhasil membungkam pikiranku. Entahlah mengapa aku merasa semua ini tidak nyata. Baru saja kemarin ia adalah orang asing.
"Kau bisa menciptakan lagu-lagu?" Mimik wajahnya yang selalu tampak datar kini terangkat.
Aku mengangguk, tiba-tiba menjadi pemalu.
"Namun, aku sedang tidak menuliskan lagu."
"Kenapa? Tidak ada ide?"
"Mungkin karena semuanya kusimpan di kepalaku. Dikendalikan oleh akal sehat."
Ia menunggu beberapa saat sebelum berkata, "Kita bisa melakukannya bersama. Berkelana, menulis lagu setiap hari."
BAGIAN III