BAGIAN I
"Kurasa penulisnya mengilustrasikan sebuah metafora menarik. Baginya cinta dapat ditemukan dimana saja, bahkan pada tempat-tempat yang tidak biasa." Aku menghentikan ucapanku dan berpikir sejenak. "Bukankah kita semua juga begitu? Hidup dengan penuh terkaan." Mataku menyapu seisi ruangan dari depan kelas, menelusuri mimik wajah mereka.Â
Terdengar samar-samar musik alam. Kodok menguak, berdekang, berketur. Gemercik air terjun berkumandang dari lubuk hutan. Hingga telingaku berdering mengenali suara Lao, anjing peliharaan sekolah yang senang berlari tanpa lelah, menggonggong tanpa kekang.Â
Tiada pernah keheningan. Ruangan kelas yang tidak kedap suara menjadi satu-satunya pemisah antara siswa dengan satwa liar. Aku mencoba bernafas di udara yang mulai terasa pekat. "Kurasa itulah yang kudapatkan dari buku ini." Aku mengakhirinya dengan suara tercekat akibat demam panggung yang kumiliki sejak kecil. Kini atmosfer ruangan menjadi ringan kembali.
"Baik terima kasih atas kisahnya." Bu Kamala menepuk tangannya dengan mata berbinar-binar. Ia sudah tua, matanya merabun dan rambutnya beruban. Namun, ia mampu menggerakan seseorang dengan kata-kata. Semangatnya tidak memudar walau bertambah usia.Â
"Berikut merupakan contoh yang baik dari temanmu. Kita mendapatkan makna melalui buku untuk menghidupi setiap nafas, bahwa kita bukan sekedar ditempatkan dalam dunia ini. Maka kita memperoleh kebijaksanaan tanpa perlu hidup selama 100 tahun." Selagi menjelaskan ia membenarkan letak kacamatanya yang bertali. Semua mata terpaku kepadanya, tampak berpikir keras. Aku berjalan kembali ke tempat duduk, merasakan mentari dari celah jendela menerpa hangat.
"Tumben pintar." Bisiknya.
"Aku memakan filosofi setiap hari." Ujarku tanpa menoleh kepada lelaki tersebut. Filsafat adalah akar dari segala pikiran, itulah yang ayahku sering ajarkan. Usai jam sekolah, aku biasa menunggu ayah selesai bekerja untuk pulang bersama. Karena pekerjaannya adalah sebagai staf di hotel yang menghadap langsung ke pantai Nihiwatu, aku kerap menghabiskan waktu di pantai, mengamati sekitar. Ombak beradu, bersahut-sahutan, diiringi tawa puas peselancar.Â
Lalu ndara, yakni bahasa setempat untuk kuda, berkeliaran membelah air, membentuk sebuah ikatan sakral dengan nenek moyang kami.
Suatu hari, tatkala kami berjalan di hamparan pasir putih, melewati kerasnya deru ombak yang berbenturan, ayah berbicara kepadaku. Katanya, jika seseorang mempunyai cara pandang sendiri akan dunia, ia dapat dengan gagah berani mengarungi arus yang tak jelas arahnya. Namun, memposisikan diri pada sudut pandang orang lain membuat ia belajar mengenali arusnya. Aku menggelengkan kepala tidak mengerti.Â