Jadilah orang berprinsip dengan hati yang lembut, ayah memandang lekat mata anak satu-satunya. Kita dilahirkan bukan untuk sebatas mengejar ambisi pribadi, namun pasti ada tujuan yang lebih besar di balik keberadaan kita.
"Aku membawa mainan baru." Aku yang sedari tadi asyik melamun dibuyarkan oleh suara khas itu. Ia mengangkat kantong plastik yang berisi ikan mas. Aku menatap kearahnya tidak percaya. Sepertinya skenario semacam ini tidak termasuk dalam tujuan di balik keberadaanku. Â Â
"Bisakah kau berhenti membawa hewan cobaan labotarium?" Aku benar-benar teralihkan, tidak mendengarkan sedikit pun penjelasan Bu Kamala tentang penggunaan kata kiasan di dalam buku.
Ia malah tersenyum jahil. Baginya, amarahku adalah seperti pemantik api. "Siapa tahu yang ini akan berhasil, Luna." Aku menghela nafas, kami beradu tatap. Matanya hitam legam, menusuk begitu dalam. Aku ingin mencapai dasarnya, lalu membawa cerita pada sepasang mata itu naik ke permukaan. Namun layaknya matahari tebenam, aku berkedip, dan melewatkan momennya.
Alkisah awal mula pertemanan kami tidak begitu spesial. Ia adalah orang yang banyak bicara, bertemu denganku yang banyak berpikir. Tiba-tiba saja, entah kapan - kami menjadi dekat. Walaupun sifat kami amat bertolak belakang, ada sesuatu di dalam diri kami yang berjalan selaras. Mungkin karena kehadiran satu sama lain mampu untuk saling mengisi, bahkan menyakiti. Sampai semakin lama, aku terbiasa dengan keberadaannya yang terasa hangat, seperti rumah.
"Beri makan dia yaa.." Bujuknya sambil menyikut lenganku. Pipiku sudah merah padam oleh emosi.Â
"Enak saja." Aku tidak ingin mengambil bagian dalam hobinya yang aneh.
Raven menjadi dirinya sendiri, tetap menyodorkan plastiknya sambil mengunyah permen karet kesukaannya. Aku memincingkan mata. Lalu bagaikan kaca yang retak, aku mengambilnya dengan pasrah. Aku kalah, hancur berkeping-keping lagi.
"Jika ia selalu mati saat aku yang pelihara apakah kau tidak curiga?"
"Tidak juga." Ujarnya santai. Dalam sekejap ia merangkai pecahanku kembali. Â Â
Bel jam istirahat berbunyi, Bu Kamala berbicara tempo yang lebih cepat, mengejar berpacunya waktu. Ia mengingatkan murid-murid untuk terakhir kalinya tentang tugas membuat sinopsis buku. Teman-teman lain mendesah dan bangkit dari tempat duduk mereka, segera menghambur keluar kelas. Menyisakan dua orang yang sedang sibuk memperdebatkan takdir ikan mas.