"Dan ketika kamu memandang langit, senja akan terlihat lebih indah bukan?" Aku menengok ke atas, mencoba mencari keindahan di langit, seperti yang dikatakan ayah. Namun, langit masih dipenuhi awan kelabu. Aku kembali memandang lurus ke depan, terlalu lelah dengan perasaanku.Â
Namun timbulah sesuatu membuatku mengusap mata tak percaya. "Ada dia!" Ucapku bersemangat. Kai terlihat samar-samar dari kejauhan, menunggangi ndara. Hujan perlahan menetes ke bumi, membasahi pantai dan air mataku.
BAGIAN V
Aku izin kepada ayah untuk menjumpai teman, dan ia pulang terlebih dahulu. Maka aku berlari kecil menghampiri Kai dan melambaikan tangan riang.
"Luna? Kenapa kamu berdiri di tengah hujan?" Ucapnya bingung, bergegas turun dari ndara. Kuda Sandalwood yang bertubuh kecil nan tangguh itu meringkik. Aku baru menyadari pakaianku yang basah kuyup oleh hujan.
"Mau berteduh dulu?" Aku menunjuk ke semacam tempat duduk yang memiliki payung. Ia mengangguk dan berjalan mengikutiku dari belakang.
"Itu kudamu?" Aku membuka topik pembicaraan, menyaksikan kudanya berlari mendekati bibir pantai diantara ribuan rintik hujan.
"Iya, aku sedang melatihnya. Ia sudah lumayan jinak." Serunya antusias. Aku tahu sedikit tentang ndara. Disini, kuda atau ndara dipandang hampir sejajar dengan arwah nenek moyang. Ndara, bukan sekadar tunggangan, tetapi kendaraan hidup yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba.
"Kamu tahu, kuda dilatih di pantai supaya melatih fisik mereka. Karena di pantai pasirnya membuat langkah kaki mereka menjadi berat. Jadi otot-ototnya akan terbentuk, selain itu bagus untuk melatih pernapasan..." Aku tertawa di sela penjelasannya.
"Kenapa?" Ujarnya dengan raut bingung.
"Kamu lucu, seperti ensiklopedia berjalan."