Langkahku terhenti di depan gedung itu. Sebuah gedung di tengah kota yang menjulang tinggi menunjukkan kemewahannya. Aku memandang gedung tersebut hingga puncaknya. Entah mengapa takdir harus membawaku kembali ke tempat ini. Memoriku terbawa kembali kepada masa itu. Bayangan hitam putih terus berputar membuka kembali duka yang telah lama kusembunyikan dan kupendam sendiri. Kendaraan bermotor lalu lalang di belakangku, aku tidak peduli para satpam gedung yang melihatku dengan tatapan curiga atau sekelompok orang yang lewat sambil berbisik dan memandangku sinis. Aku hanya mengenang perjuangan yang pernah kulewati, dan gedung bertingkat 27 ini menjadi saksinya. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata.
Aku menghembuskan nafas.
Aku menginjakkan kaki di lantai 1. Banyak perubahan yang kutemukan. Gedung ini direnovasi setelah tragedy itu. Lukisan disepanjang lantai 1 tak lagi sama seperti 2 tahun lalu. Lukisan langit malam yang selalu aku kagumi kini tak lagi tersangkut di salah satu sisi dinding. Penjagaan gedung ini pun semakin diperketat. Dulu hanya ada 2 orang penjaga yang berada di balik meja kerjanya dan hanya sekedar menanyakan tujuan para tamu yang datang. Berbeda dengan saat ini, seluruh penjaga menggunakan jas hitam dan memencar di seluruh bagian lantai 1.
Langkahku terhenti di depan lift yang mengantarkanku ke lantai yang kutuju. Mataku menatap lurus lampu hias yang menggantung di depanku. Pikiranku memutar kembali kepada kejadian yang pernah aku alami. Di tingkat tertinggi gedung ini.
“Saya butuh anak ini untuk menjadi mata-mata bagi Renisha” ucap seorang pria berusia senja yang menggunakan kacamata hitam dengan tongkat di tangan kanannya.
“Tapi Pak, dia masih terlalu belia. Dan ia tidak ada kaitannya dengan masalah ini” ucap ibu.
Aku hanya memandang mereka dengan tatapan bingung. Hari itu aku baru saja menyelesaikan ujian nasional SMP. Sesampainya di rumah, ibu mengajakku ke suatu tempat. Gedung perkantoran mewah di tengah kota metropolitan, Jakarta. Masih kuingat dengan jelas sosok pria yang berbicara dengan ibuku. Aku mengasumsikan ia adalah seorang yang sangat penting, karena kemana pun ia pergi ia dikawal oleh dua orang penjaga bertubuh kekar. Kuingat juga bagaimana ibu dengan rambutnya yang ia kuncir satu dan kemeja merah dan celana kain yang melekat pada tubuhnya, wajah putihnya dipenuhi derai air mata sambal memohon hingga berlutut kepada bapak tua itu. Semuanya terekam jelas diingatanku.
Sesampainya di rumah aku bertanya kepada ibu, apa yang sebenarnya terjadi. Mau tak mau, beliau menceritakannya kepadaku.
“Jika itu demi kebaikan aku dan ibu. Aku bersedia” ucapku tegas.
“Tidak nak. Ini terlalu berbahaya”
“Tak ada yang bisa kulakukan buk. Ini cara agar aku dapat melindungi ibu”
“Caca” ucap ibu kemudian menatapku lekat-lekat. Menelusuri ke dalam mataku. “Ini hal yang sangat berbahaya. Kamu anak ibu satu-satunya. Ibu tidak mau kehilangan kamu, nak”
“Bagaimana ibu tau ini berbahaya jika ibu tak pernah melakukannya?” ucapku.
Ibu menghela nafas panjang. Ada yang ia sembunyikan.
Akhirnya, di sinilah aku saat itu. Sebuah sekolah menengah atas yang di luar keinginanku. Hampir tak pernah terbayang olehku aku akan bersekolah di tempat ini. Ponselku bergetar, ada pesan masuk.
“Renisha sebentar lagi akan diantar ke sekolah. Badannya tinggi, rambutnya hitam ikal, dengan kulit kuning langsat” aku membaca isi pesan tersebut dengan pelan.
Aku segera melangkah menuju gerbang dan menyandang tas ransel yang ku bawa dari rumah. Tepat saat aku sampai di depan gerbang, aku menemukan Renisha.
“Halo” sapaku “Caca” ucapku sambil mengajaknya bersalaman.
“Hai, Renisha” jawabnya dengan senyuman.
Tak seangkuh yang ku pikirkan. Batinku.
Kami mengobrol sepanjang jalan menuju kelas, dan untungnya kami mendapatkan kelas yang sama, ya setidaknya memberikanku kemudahan untuk mengawasinya.
Hal yang membuatku mengerti mengapa ayah Renisha menugaskanku untuk menjaga putri tunggalnya adalah karena ia mudah bergaul dengan oranglain. Mungkin bagi sebagian orang, sifat mudah bergaul memberi banyak manfaat. Namun hal yang sama tidak berlaku pada Renisha, justru karena keramahannya ia seringkali dimanfaatkan orang-orang sekitarnya.
Setelah memastikan Renisha dijemput oleh supir pribadinya, aku kembali ke rumah.
“Ibu, Caca pulang” ucapku memasuki pintu rumah.
“Kamu baik-baik saja, kan?” Tanya ibu panik.
“Caca baik-baik saja ibu. Menjaga Renisha hal yang mudah, kok.”
Lagi-lagi ibu menghela nafas dengan berat.
“Ibu kenapa? Apakah ada yang ingin ibu sampaikan kepada Caca?”
Ibu hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
“Apakah ibu baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Ibu hanya lelah saja”
“Sebaiknya ibu istirahat yang cukup”
Ibu beranjak dari kursi tempat ia duduk kemudian kembali ke kamarnya.
Begitulah ibu, semenjak ayah pergi. Ia selalu menekan dirinya untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan kami. Ia selalu berangkat pagi ke kantornya. Sibuk berada di depan computer selama berjam-jam. Seringkali aku menatap mata letihnya, sayu dan tak bersemangat. Kulit putihnya yang sering terpapar pendingin ruangan membuatnya tampak pucat. Beberapa helai rambut putih pun mulai terlihat di rambut pendeknya.
Aku memandang sekeliling ruang tamu rumah minimalis yang aku dan ibu tinggali sebagai pelindung di kala hujan dan badai, tempat beristirahat di kala pikiran dan hati tak lagi bisa diandalkan. Beberapa vas antic kesayangan ibu masih tertata rapi di meja kayu yang dulu dihadiahkan ayah kepada ibu. Sesibuk apa pun ibu dulu, tak ada debu yang luput dari pandangannya. Ia selalu membersihkan vas-vas tersebut. Bunga kaca yang menjadi sandaran bingkai foto keluarga berukuran 16x16 cm itu tak lagi pernah diganti oleh ibu. Dulu tiap 2 bulan beliau selalu mengajakku ke toko dekorasi rumah dan memintaku memih bunga kaca yang aku mau.
Sekarang semuanya berbeda, ibu tak lagi terbuka kepadaku. Apalagi sejak aku bertemu bapak tua yang memintaku untuk menjadi pengawal bagi putri tunggalnya, Renisha. Ada banyak yang ingin ku tanyakan kepada ibu, tapi apa dayaku. Mengetuk pintu kamarnya pun sekarang aku tak berani.
Ponselku bordering memunculkan nomor orang yang selama ini memberitahuku informasi tentang Renisha. Aku menyerngit. Sudah malam, bukankah aku hanya menjaga Renisha sewaktu sekolah saja?
“Halo” jawabku.
“Tolong temui saya di stasiun kereta pukul 7 malam” ucap seseorang di seberang sana.
“Hah?” ucapku tanpa suara.
Kulihat ibu melihatku selagi aku bertelepon dengan orang yang bakal tak kuketahui identitasnya.
“Bagaimana aku bisa mengetahu..” ucapanku terputus
“Jaket kulit cokelat, bertopi hitam” telepon dimatikan setelah kalimat itu.
Sialan! Aku memaki pria yang baru saja meneleponku. Bagaimana ia bisa menyebutkan ciri-ciri dirinya sendiri hanya dengan pakaian yang ia gunakan? Apakah dia berpikir bahwa ia satu-satunya orang yang memiliki jaket kulit dan topi hitam? Aku merutukinya.
Ibu masih berdiri di tempat yang sama saat aku ditelepon oleh pria tadi. Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran, ia sesekali menghela nafas panjang. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan cepat dengan satu tangan menopang dagunya.
“Ibu tidak istirahat?” tanyaku.
“Siapa yang baru saja meneleponmu, nak?” tanyanya. Suara ibu bergetar.
“Bukan siapa-siapa. Hanya anak buah ayah Renisha”
Ibu berjalan mendekatiku dan mencengkram lenganku erat. Ia memandangku. Intens.
“Katakan pada ibu, siapa yang meneleponmu?” Tanya ibu sekali lagi. Nada suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelum nya.
”Aku sendiri pun tidak tahu bu. Aku hanya disuruh menemuinya di stasiun kereta pukul 7 malam. Ia memiliki ciri-ciri menggunakan jaket cokelat dan bertopi hitam. Itu saja” jawabku dengan jujur.
Lagi-lagi ibu menghela nafas panjang, kerutan di dahinya semakin jelas.
“Ada apa bu?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa. Pergilah. Sudah hampir pukul 7 malam”
Aku yakin ada yang disembunyikan oleh ibu. Sangat yakin.
Aku berlari setelah stasiun kereta terlihat cukup dekat sambil melirik jam tanganku.
“18.41” batinku. Kemudian mempercepat langkahku.
Disana ia berdiri, pria menggunakan jaket kulit dan bertopi hitam. Baiklah, aku salah. Memang hanya dia satu-satunya orang dengan ciri-ciri yang ia sebutkan. Lalu aku menepuk bahunya pelan.
Kami segera melesat ke salah satu gedung mewah di tengah kota. Renisha mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 17 malam ini jam 19.30. Ayahnya khawatir acara ini akan menjadi alat orang yang mengincar putrinya untuk membahayakannya.
“Pakai ini” ucap pria tadi sambil melempar sebuah gaun hitam tepat di wajahku.
Aku melihat gaun hitam pendek tersebut sambil menyerngit.
“Tidak bisakah aku menggunakan baju yang kupakai ini saja?” ucapku lalu menyadari bahwa pria tadi melepaskan topinya. Menarik.
“Jangan mengundang kecurigaan pihak lain” ucapnya datar. Suara beratnya terdengar sangat dingin.
Sesampainya di gedung itu aku segera menuju toilet untuk mengganti bajuku dengan gaun yang tadi ‘diberikan’ pria itu. Aku menatap pantulan diriku di cermin besar di depanku. Rambut hitam legam terurai hingga punggung, gaun hitam di atas lutut yang ku gunakan melilit rapi di tubuhku, lengkap dengan sepatu hak tinggi 10 cm yang juga diberikan pria tadi sebelum aku mengganti baju.
Sambil berjalan menggandeng pria yang sampai saat ini tak ku ketahui namanya, aku memandangi setiap sudut pada gedung ini. Mewah. Kami pun memasuki ruangan tempat pesta ulang tahun Renisha diselenggarakan. Kemudian aku dan pria itu pun berpencar.
“Ada sekitar 250 orang yang diundang di acara ini” aku mendengar suara pria itu melalui alat bantu yang kupakai di telinga ku.
“Kemudian?”
“Rata-rata mereka berasal dari sekolah Renisha yang lama”
“Siap” ucapku lalu mencari keberadaan sosok Renisha.
“Kevin”
“Maaf aku tak bisa mendengarmu. Apa? Yang mengincar Renisha bernama Kevin?”
Ia tertawa pelan lalu berdehem sejenak, “Perkenalkan saya Kevin” ucapnya
“Oh, baiklah” ucapku. Tanpa sadar ada senyum yang kemudian terulas di bibirku.
Tiba-tiba lampu di ruangan itu mati. Semua orang berteriak histeris. Aku segera mengaktifkan kembali alat bantu komunikasi yang kupasang di telingaku itu,
“Kevin, apakah kamu mendengar suaraku?” tanyaku.
“Aku mendengarmu Ca. Segera cari Renisha. Aku akan menghubungi kepolisian setempat”
Aku segera mencari sosok Renisha di tengah keramaian orang-orang yang berteriak ketakutan sambil berlarian di depanku.
“Caca” panggil seseorang yang berada di belakangku.
Aku langsung menoleh ke sumber suara, “Renisha” ucapku pelan.
“Kevin, aku menemukan Renisha. Ia sedang bersamaku” ucapku cepat.
Kurasakan suhu yang tak biasa pada tubuh perempuan cantic yang menggenggam tanganku dengan sangat erat. Tangannya dingin. Wajahnya pucat pasi.
“Bawa dia ke ruangan di atap sekarang” jawab Kevin.
Tanganku segera menarik tangan Renisha untuk keluar dari ruangan itu. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya. Kekhawatiran terbesarku saat ini adalah aku takut ada orang yang menyadari aku membawa Renisha keluar dari ruangan gelap ini. Sesekali aku menabrak beberapa orang yang lalu lalang di depanku demi membawa majikanku keluar dari bahaya yang mengintainya.
Sesampainya di tempat yang diperintahkan Kevin, aku segera masuk dan mengunci lagi pintunya dengan rapat. Terdengar suara tembakan di lantai atas tempat acara tadi berlangsung. Aku berbalik menemukan ibuku duduk di kursi dan diikat. Mulutnya dibekap dengan kain. Sementara, Renisha masih berdiri di belakangku.
“Serahkan perempuan itu, atau ibumu berakhir di sini” ancamnya.
Aku bergeming.
Kevin berada di sana. Di belakang pria yang baru saja mengancamku.
Aku membuang nafas melalui mulut sambil melemparkan pandanganku ke samping kiri.
“Pengkhianat” ucapku kepada Kevin melalui alat bantu komunikasi kami.
Ia kemudian mengangkat kepalanya dan melihatku.
Aku merasakan ada pergerakan pada Renisha. Benar saja ia melangkah maju. Refleks tangan kananku menghalangi langkahnya.
“Diam. Jangan bergerak. Sedikit pun” ucapku memperingati Renisha dengan pelan.
Pria tadi bertepuk tangan. Suaranya menggema di ruangan tersebut.
“Lihat bagaimana setianya pengawal barumu ini, Renisha. Bahkan Kevin yang sudah bertahun-tahun menjagamu bisa tunduk kepada perintahku.” Ucapnya. Renisha hanya melihatku tanpa berbicara sedikit pun.
“Dan kamu, apakah engkau rela ibumu merenggang nyawa hanya karena perempuan di belakangmu? Yang baru engkau kenal selama kurang lebih 2 hari? Ibumu yang sudah bertahun-tahun menemani hari-harimu dan melindungimu. Anak tak tahu diri” ucapnya lagi.
Aku menahan emosiku sekuat mungkin. Salah bergerak sedikit, dua nyawa orang berada di ujung tanduk.
“Apa yang engkau pikirkan nona manis? Mulai goyah, hah?” ucapnya lagi.
Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Aku berlari ke arah pria itu dan menendangnya dengan sekuat tenaga hingga ia jatuh menabrak tubuh Kevin dan keduanya jatuh tersungkur. Aku dan Renisha segera melarikan diri melalu tangga darurat menuju lantai 27. Tepat sekali di sana ada pihak kepolisian yang menunggu.
“Tolong jaga dia” ucapku kepada salah satu polisi yang berada di sana.
“Kemana kamu akan pergi? Biarkan kami ikut membantu” cegah salah seorang polisi.
“Kalian telah membantuku, jika anak ini bisa kembali ke rumahnya dengan selamat” ucapku.
Sebelum aku kembali masuk ke ruangan tangga darurat, Renisha memelukku dengan erat. Aku segera bergegas menaiki tangga menuju ruang yang berada di atap gedung. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Hanya tersisa kursi tempat ibu diikat oleh kedua pria kejam tadi. Aku menyusuri setiap tempat di atap tersebut, namun aku tak menemukan apa pun. Aku berlari menuju lantai 27. Pihak kepolisian sudah tak lagi berada di sana. Aku mengintip tiap ruangan yang berada di lorong lantai tertinggi gedung tersebut.
Aku hampir berteriak, melihat ibuku dengan mata dan mulut di tutup dan tangannya terikat. Air mataku menetes. Aku tahu sekarang apa yang ibu maksud selama ini. Aku mengerti sekarang, mengapa ibu sekhawatir itu ketika aku menerima telepon tadi. Aku memandang gaun hitam yang masih membalut tubuhku, ingin rasanya aku merutuki diriku sendiri. Mengapa aku mudah percaya kepada orang seperti itu? Bodoh! Aku memaki diriku sendiri.
Aku mengintip lagi ke ruangan tempat ibu disekap. Tak ada siapa-siapa. Aku segera masuk dan melepaskan ikatan tangan dan kain yang menutupi mata dan mulut ibu.
“Caca” ucapnya pelan lalu memelukku. Aku membalas pelukannya dengan erat.
“Ibu kita harus pergi dari sini” ucapku melepaskan pelukan dan menggenggam kedua pergelangan tangannya.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ibu memberi jawaban seperti itu?” tanyaku bingung.
“Ibu pernah berada di posisimu nak” jawabnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.
Jantungku berdebar semakin cepat ketika pintu tiba-tiba terbuka. Kevin dan pria tadi datang kembali. Aku segera mengambil posisi untuk melindungi ibu yang berada di belakangku. Pria itu berjalan mengelilingi kami, sementara Kevin berada tepat di depanku.
“Wah wah wah. Anakmu sangat pemberani sepertimu” ucap Pria tadi sambil menarik ibuku beberapa langkah dariku.
“Mari kita lihat. Apakah ia melakukan pengorbanan yang sama dengan apa yang engkau lakukan” ucapnya lagi.
Kepalaku terasa sangat pusing. Ada apa ini? Pemberani? Seperti ibu? Pengorbanan?
Aku mengaduh pelan. Kevin menyadarinya. Kepalaku seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali.
“Ini adalah akibat yang harus engkau tanggung karena telah menyelamatkan anak itu” ucapnya.
Aku mengangkat kepalaku dan melihat Kevin yang berada di depanku mengacungkan pistol ke arah kepala ibuku. Perasaan berkecamuk di dalam dada. Marah, kecewa, panik, takut, sedih, semuanya bercampur tanpa bisa kukontrol lagi.
Aku segera berlari ke depan ibuku saat pelatuk pistol tersebut di tarik oleh Kevin. Peluru tepat mengenai bahu kananku. Tak hanya sekali, bunyi pistol kembali terdengar. Aku melihat pria tersebut menembak ibuku. Aku gagal menyelamatkannya. Aku hanya bisa tergeletak lemah di sebelah ibuku. Seketika itu juga, polisi masuk dan menyergap dua orang itu.
“Ca” rintih Ibu dengan sulit
“Ibu” panggilku. Air mata berlinang di pipiku
“Jaga diri baik-baik ya nak,” pesannya.
“Ibu!!” panggilku lagi.
Aku tesadar dari lamunanku. Kemudian melanjutkan langkah menuju ruangan yang ditentukan. Untuk bertemu keluarga Renisha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H