“Caca” ucap ibu kemudian menatapku lekat-lekat. Menelusuri ke dalam mataku. “Ini hal yang sangat berbahaya. Kamu anak ibu satu-satunya. Ibu tidak mau kehilangan kamu, nak”
“Bagaimana ibu tau ini berbahaya jika ibu tak pernah melakukannya?” ucapku.
Ibu menghela nafas panjang. Ada yang ia sembunyikan.
Akhirnya, di sinilah aku saat itu. Sebuah sekolah menengah atas yang di luar keinginanku. Hampir tak pernah terbayang olehku aku akan bersekolah di tempat ini. Ponselku bergetar, ada pesan masuk.
“Renisha sebentar lagi akan diantar ke sekolah. Badannya tinggi, rambutnya hitam ikal, dengan kulit kuning langsat” aku membaca isi pesan tersebut dengan pelan.
Aku segera melangkah menuju gerbang dan menyandang tas ransel yang ku bawa dari rumah. Tepat saat aku sampai di depan gerbang, aku menemukan Renisha.
“Halo” sapaku “Caca” ucapku sambil mengajaknya bersalaman.
“Hai, Renisha” jawabnya dengan senyuman.
Tak seangkuh yang ku pikirkan. Batinku.
Kami mengobrol sepanjang jalan menuju kelas, dan untungnya kami mendapatkan kelas yang sama, ya setidaknya memberikanku kemudahan untuk mengawasinya.
Hal yang membuatku mengerti mengapa ayah Renisha menugaskanku untuk menjaga putri tunggalnya adalah karena ia mudah bergaul dengan oranglain. Mungkin bagi sebagian orang, sifat mudah bergaul memberi banyak manfaat. Namun hal yang sama tidak berlaku pada Renisha, justru karena keramahannya ia seringkali dimanfaatkan orang-orang sekitarnya.