Ibu masih berdiri di tempat yang sama saat aku ditelepon oleh pria tadi. Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran, ia sesekali menghela nafas panjang. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan cepat dengan satu tangan menopang dagunya.
“Ibu tidak istirahat?” tanyaku.
“Siapa yang baru saja meneleponmu, nak?” tanyanya. Suara ibu bergetar.
“Bukan siapa-siapa. Hanya anak buah ayah Renisha”
Ibu berjalan mendekatiku dan mencengkram lenganku erat. Ia memandangku. Intens.
“Katakan pada ibu, siapa yang meneleponmu?” Tanya ibu sekali lagi. Nada suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelum nya.
”Aku sendiri pun tidak tahu bu. Aku hanya disuruh menemuinya di stasiun kereta pukul 7 malam. Ia memiliki ciri-ciri menggunakan jaket cokelat dan bertopi hitam. Itu saja” jawabku dengan jujur.
Lagi-lagi ibu menghela nafas panjang, kerutan di dahinya semakin jelas.
“Ada apa bu?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa. Pergilah. Sudah hampir pukul 7 malam”
Aku yakin ada yang disembunyikan oleh ibu. Sangat yakin.