“Kemana kamu akan pergi? Biarkan kami ikut membantu” cegah salah seorang polisi.
“Kalian telah membantuku, jika anak ini bisa kembali ke rumahnya dengan selamat” ucapku.
Sebelum aku kembali masuk ke ruangan tangga darurat, Renisha memelukku dengan erat. Aku segera bergegas menaiki tangga menuju ruang yang berada di atap gedung. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Hanya tersisa kursi tempat ibu diikat oleh kedua pria kejam tadi. Aku menyusuri setiap tempat di atap tersebut, namun aku tak menemukan apa pun. Aku berlari menuju lantai 27. Pihak kepolisian sudah tak lagi berada di sana. Aku mengintip tiap ruangan yang berada di lorong lantai tertinggi gedung tersebut.
Aku hampir berteriak, melihat ibuku dengan mata dan mulut di tutup dan tangannya terikat. Air mataku menetes. Aku tahu sekarang apa yang ibu maksud selama ini. Aku mengerti sekarang, mengapa ibu sekhawatir itu ketika aku menerima telepon tadi. Aku memandang gaun hitam yang masih membalut tubuhku, ingin rasanya aku merutuki diriku sendiri. Mengapa aku mudah percaya kepada orang seperti itu? Bodoh! Aku memaki diriku sendiri.
Aku mengintip lagi ke ruangan tempat ibu disekap. Tak ada siapa-siapa. Aku segera masuk dan melepaskan ikatan tangan dan kain yang menutupi mata dan mulut ibu.
“Caca” ucapnya pelan lalu memelukku. Aku membalas pelukannya dengan erat.
“Ibu kita harus pergi dari sini” ucapku melepaskan pelukan dan menggenggam kedua pergelangan tangannya.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ibu memberi jawaban seperti itu?” tanyaku bingung.
“Ibu pernah berada di posisimu nak” jawabnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.
Jantungku berdebar semakin cepat ketika pintu tiba-tiba terbuka. Kevin dan pria tadi datang kembali. Aku segera mengambil posisi untuk melindungi ibu yang berada di belakangku. Pria itu berjalan mengelilingi kami, sementara Kevin berada tepat di depanku.