Mohon tunggu...
Probo Pribadi Sm
Probo Pribadi Sm Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Unika St Thomas | Universitas Simalungun | Author, Writer, PERADI Advocate and Lecturer | For surely there is a future, and your hope will not be cut.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata Terhadap Orang Tua dalam kasus Penelantaran Anak

19 September 2024   21:22 Diperbarui: 6 November 2024   16:44 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus penelantaran anak yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 2022 menjadi perhatian publik. Anak tersebut mengalami penyiksaan dan kekerasan yang sangat kejam dari orang tua kandung dan ibu tirinya. Keadaan ini terungkap ketika anak itu berhasil melarikan diri dan ditemukan oleh warga dalam kondisi sangat memprihatinkan dengan kaki terikata rantai. Kasus ini viral di media sosial, mencerminkan betapa pentingnya kesadaran dan perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran. Setiap individu berhak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang layak, dan kasus ini mengingatkan kita semua akan perlunya perhatian dan tindakan yang lebih serius terhadap isu- isu perlindungan anak.1

Kasus penelantaran anak di Bekasi menunjukkan gambaran menyedihkan dari apa yang sering disebut “parental abuse” atau penyiksaan oleh orang tua. Dalam kasus ini, orang tua pelaku tidak hanya mengabaikan kebutuhan dasar anak, tetapi juga menggunakan kekerasan fisik yang brutal sebagai metode mendisiplinkan. Mereka menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk memperlakukan anak dengan cara yang sangat kejam, seringkali dengan dalih bahwa tindakan mereka adalah bagian dari proses pendidikan dan disiplin. 2 

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), sebagai orang tua sudah diatur ketentuan bahwa jika suatu pernikahan mendapati keturunan atau anak, maka dalam hubungan pernikahan itu tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, melainkan juga melahirkan kewajiban antara suami-istri yang berhubungan selaku orang tua dari anak-anaknya.3

Penelantaran anak dapat didefinisikan sebagai kegagalan orang tua atau wali untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti kebutuhan pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan karena menyebabkan kerugian bagi anak yang berhak mendapatkan perlindungan dan perhatian penuh dari orang tua mereka. Hukum memberikan dasar bahwa orang tua memiliki tanggung jawab mutlak dalam pemenuhan hak-hak anak. Setiap anak butuh merasa dicintai dan aman, tetapi anak-anak yang diabaikan sering kali merasa sendirian dan terabaikan. Dampaknya tidak hanya terlihat di fisik mereka, tetapi juga menyentuh hati dan pikiran mereka.

Penelantaran ini bisa terjadi dalam banyak bentuk, seperti ketika seorang anak tidak diberi makan dengan cukup, dibiarkan sakit tanpa perawatan, atau bahkan tidak didaftarkan ke sekolah. Anak-anak yang tumbuh tanpa perhatian yang cukup bisa merasa tidak berharga atau tidak dicintai. Bayangkan seorang anak yang lapar karena orang tuanya tidak peduli untuk menyediakan makanan, atau seorang anak yang kesepian karena tidak ada yang mendengarkan keluhannya. Anak-anak ini tidak hanya merasa ditinggalkan secara fisik, tetapi juga kehilangan rasa aman yang seharusnya mereka dapatkan dari keluarga. Pada akhirnya, mereka mungkin tumbuh dengan perasaan terluka yang mendalam dan kesulitan mempercayai orang lain.

Bentuk penelantaran yang paling sering tidak terlihat adalah penelantaran emosional. Orang tua mungkin ada secara fisik, tetapi mereka tidak hadir secara emosional. Anak-anak butuh lebih dari sekadar tempat tidur dan makanan; mereka butuh perhatian, pujian, dan pelukan hangat. Saat mereka tidak mendapatkan itu, mereka tumbuh dengan rasa hampa, seolah-olah mereka tidak penting bagi orang-orang yang seharusnya paling mencintai mereka.

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sangat serius, dengan dampak yang luas pada perkembangan fisik, emosional, dan sosial anak. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak mencakup berbagai tindakan penganiayaan, baik fisik, emosional, seksual, maupun kelalaian dalam pengasuhan.4 Tindakan ini bisa secara langsung membahayakan kesehatan, martabat, atau perkembangan anak. Ketika orang tua atau pihak yang bertanggung jawab gagal memberikan itu semua, anak-anak berisiko menghadapi berbagai masalah yang bisa membekas sepanjang hidup mereka. 

Pada dasarnya, penelantaran anak adalah pelanggaran terhadap hak dasar anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih dan dukungan. Setiap anak berhak merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi. Anak, sebagai bagian dari subjek hukum, memiliki hak-hak asasi yang melekat padanya sejak lahir. Hak ini diakui secara internasional melalui Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) tahun 1989, yang menekankan bahwa anak-anak memiliki hak untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kebahagiaan, cinta kasih, dan pengertian.

Penelantaran tidak hanya merugikan anak-anak secara langsung, tetapi juga merusak masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang tumbuh dalam penelantaran sering kali membawa luka mereka ke masa dewasa, mempengaruhi cara mereka melihat dunia dan bagaimana mereka membangun hubungan dengan orang lain. Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita semua baik itu orang tua, guru, atau tetangga untuk memperhatikan tanda-tanda bahwa seorang anak mungkin sedang ditelantarkan. Dengan membantu mereka, kita bisa memberikan kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk tumbuh dengan rasa aman dan dicintai, seperti yang seharusnya mereka dapatkan. 

Kasus penelantaran anak tidak hanya melanggar hak-hak dasar yang diakui secara nasional maupun internasional, tetapi juga dapat membawa konsekuensi hukum bagi orang tua4 atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan anak tersebut. Penelantaran anak mencakup berbagai bentuk pengabaian, seperti tidak memenuhi kebutuhan dasar mereka, baik itunkebutuhan fisik, pendidikan, maupun kasih sayang yang sangat diperlukan untuk perkembangan mereka. Oleh karena itu, hukum pidana di Indonesia dengan tegas memberikan sanksi kepada orang tua yang menelantarkan anaknya, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam ketentuan hukum yang berlaku demi memastikan anak-anak tumbuh dengan aman dan terlindungi.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menempatkan tanggung jawab yang besar pada orang tua untuk memberikan perlindungan dan perawatan yang memadai bagi anak-anak mereka. Kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik dalam bentuk sanksi pidana maupun pertanggungjawaban perdata. Konsep pertanggungjawaban perdata mengacu pada kewajiban orang tua untuk memperbaiki kerugian yang timbul akibat penelantaran. Penelantaran anak sering kali berakar dari berbagai faktor sosial dan ekonomi yang kompleks. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk memahami bagaimana sistem hukum dapat menanggapi dan mengatasi masalah ini dengan efektif. Pertanggungjawaban perdata menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya perlindungan anak dan pemulihan hak-haknya yang terganggu.

Definisi dan Konsep Penelantaran Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "anak" memiliki beberapa arti, antara lain:6

a) Keturunan: Anak diartikan sebagai keturunan atau generasi kedua setelah orang tua, yang mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.

b) Makhluk Hidup yang Belum Dewasa: Dalam konteks biologi, anak merujuk pada makhluk hidup yang belum mencapai tahap dewasa atau matang. Ini sering digunakan untuk hewan yang belum siap kawin.

c) Usia: Dalam bidang psikologi, anak adalah individu yang belum mencapai tahap dewasa secara fisik dan mental, biasanya mencakup usia dari bayi hingga remaja.

d) Definisi Hukum: Dalam hukum Indonesia, anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk mereka yang masih dalam kandungan, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.

e) Istilah dalam Struktur Sosial: Istilah "anak" juga digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab atau bimbingan orang dewasa, seperti dalam konteks organisasi atau profesi. Penelantaran anak adalah suatu kondisi di mana anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak dikatakan terlantar jika tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Penelantaran anak dapat berupa penelantaran fisik, pendidikan, emosi, dan medis. 7

Secara hukum, penelantaran anak diartikan sebagai tindakan atau kelalaian yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya diterima, yang berpotensi merugikan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak tersebut.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia, penelantaran anak termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak karena mengabaikan hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi. Penelantaran anak biasanya berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang terdiri dari kebutuhan fisik, emosional, dan sosial. Kebutuhan fisik meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Sementara itu, kebutuhan emosional berhubungan dengan perhatian, kasih sayang, serta dukungan moral dari orang tua atau pengasuh.

Ketidakpedulian terhadap pendidikan, seperti tidak menyekolahkan anak atau tidak memberi fasilitas yang memadai, juga termasuk dalam kategori penelantaran. Penelantaran anak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, seperti penelantaran fisik, penelantaran emosional, dan penelantaran pendidikan. Penelantaran fisik terjadi ketika orang tua atau pengasuh gagal menyediakan kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, atau perawatan medis. Penelantaran emosional melibatkan pengabaian perasaan dan kebutuhan psikologis anak. Sementara itu, penelantaran pendidikan terjadi ketika anak tidak mendapatkan akses ke pendidikan yang layak.

Penelantaran anak memiliki dampak yang sangat besar terhadap perkembangan anak, baik secara fisik maupun mental. Anak-anak yang ditelantarkan cenderung mengalami gangguan kesehatan, kurang gizi, dan keterlambatan dalam perkembangan fisik. Dari segi psikologis, mereka mungkin mengalami rasa rendah diri, kecemasan, depresi, dan kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Penelantaran juga berpotensi mempengaruhi prestasi akademik anak karena tidak adanya dukungan pendidikan yang memadai.

Kriteria Penelantaran Anak

Kriteria penelantaran anak merujuk pada kondisi di mana anak tidak mendapatkan kebutuhan dasarnya secara wajar. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, berikut adalah kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penelantaran anak, antara lain :8

a) Kebutuhan Dasar Tidak Terpenuhi: Anak tidak mendapatkan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebersihan;

b) Pendidikan: Anak tidak bersekolah atau tidak mendapatkan pendidikan yang layak, yang dapat menghambat perkembangan akademis dan sosialnya;

c) Perawatan Emosional: Anak tidak menerima kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orang tua atau pengasuh, yang dapat berdampak pada kesehatan mentalnya;

d) Perawatan Medis: Anak tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang diperlukan, meskipun orang tua mampu untuk menyediakannya;

e) Kondisi aingkungan: Anak tinggal dalam lingkungan yang berbahaya atau tidak aman, termasuk pengabaian fisik atau emosional; dan

f) Pelanggaran Hak Anak: Penelantaran terjadi ketika hak-hak anak, seperti hak untuk hidup, berkembang, dan dilindungi, tidak terpenuhi oleh orang tua atau walinya.

Bentuk penelantaran anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mencakup beberapa kategori, antara lain:9

a) Penelantaran isik: Tidak memenuhi kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebersihan;

b) Penelantaran Pendidikan: Anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak bersekolah, atau tidak menyelesaikan pendidikan dasar;

c) Penelantaran Emosional: Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak;

d) Penelantaran Medis: Anak tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang diperlukan ketika sakit atau membutuhkan perawatan medis; dan

e) Kondisi Sosial: Anak yang menjadi yatim piatu atau tidak tinggal bersama orang tua kandungnya, serta anak yang terpaksa bekerja untuk membantu memperoleh penghasilan.

Menurut Pasal 76 B UU No. 35 Tahun 2014, seorang anak dikatakan terlantar apabila kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Dampak Penelantaran Anak

Penelantaran anak memiliki dampak yang signifikan pada perkembangan fisik, emosional, dan sosial anak. Berikut adalah beberapa dampak penelantaran anak, antara lain :10

a) Dampak isik:

1) Kesehatan: Anak yang ditelantarkan sering kali tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai, sehingga mereka rentan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan yang lebih serius; dan

2) Nutrisi: Kurangnya akses ke makanan yang bergizi dapat menyebabkan gangguan nutrisi dann pertumbuhan yang tidak normal.

b) Dampak Emosional:

1) Stres dan Trauma: Anak yang ditelantarkan sering mengalami stres dan trauma yange berkepanjangan, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka; dan

2) Kurangnya Kasih Sayang: Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua dapat menyebabkan anak merasa tidak dihargai dan tidak percaya diri.

c) Dampak Sosial:

1) Isolasi: Anak yang ditelantarkan sering kali tidak memiliki interaksi sosial yang normal, sehingga mereka merasa isolasi dan tidak terintegrasi dengan masyarakat; dan

2) Ketergantungan: Anak yang ditelantarkan mungkin tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yang dapat membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mandiri.

d) Dampak Pendidikan:

Kurangnya Pendidikan: Anak yang ditelantarkan sering kali tidak bersekolah atau tidak mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dan berkembang secara akademis.

e) Dampak Jangka Panjang:

1) Keterlibatan dalam Kekerasan: Anak yang ditelantarkan mungkin lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi di masa depan, karena mereka telah mengalami trauma dan kurangnya perlindungan; dan

2) Ketergantungan pada Narkotika: Anak yang ditelantarkan mungkin lebih rentan terhadap ketergantungan pada narkotik dan zat adiktif sebagai cara untuk menghadapi stres dan trauma.

Dengan demikian, penelantaran anak bukan hanya merupakan masalah kecil, tetapi memiliki dampak yang signifikan dan jangka panjang pada perkembangan anak. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi penelantaran anak melalui intervensi yang tepat dan perlindungan yang komprehensif.

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Tua dalam kasus Penelantaran Anak

1) KUHP lama : Pasal 304 sampai dengan 308 Bab XV tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang tua dalam kasus penelantaran anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, khususnya pada Pasal 304 hingga 308 yang berada di Bab Xi tentang “Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong”. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa orang tua atau pengasuh memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan dan perlindungan kepada anak-anak mereka. Dalam konteks hukum, penelantaran anak dianggap sebagai tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana, sehingga memberikan dasar bagi penegakan hukum terhadap orang tua yang gagal memenuhi tanggung jawab ini. Pasal 304 KUHP menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum ia wajib memberikan perawatan, dapat dikenakan pidana. Hal ini mencakup tindakan penelantaran anak, di mana orang tua yang tidak memenuhi kebutuhan dasar anaknya, seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan dapat dianggap melanggar pasal ini. Sanksi yang diatur dalam pasal ini menunjukkan bahwa ada konsekuensi hukum bagi orang tua yang dengan sengaja mengabaikan tanggung jawab mereka.

Selanjutnya, Pasal 305 KUHP secara khusus mengatur tentang meninggalkan anak yang belum berusia tujuh tahun. Jika seorang orang tua meninggalkan anak tersebut dengan maksud untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya, mereka dapat dikenakan hukuman penjara. Hal ini menunjukkan bahwa hukum memberikan perlindungan ekstra bagi anak-anak yang masih sangat muda dan rentan. Dalam hal ini, tindakan penelantaran tidak hanya dianggap sebagai kelalaian tetapi juga sebagai pelanggaran serius yang dapat berujung pada sanksi pidana. Pasal 306 hingga 308 KUHP menetapkan sanksi lebih berat jika tindakan penelantaran mengakibatkan luka-luka berat atau kematian pada anak. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia menganggap serius masalah penelantaran anak dan memberikan sanksi tegas untuk mencegah tindakan tersebut. Dengan demikian, orang tua yang tidak memenuhi kewajiban mereka dapat dihadapkan pada konsekuensi hukum yang serius, mencerminkan komitmen negara untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan kesejahteraan mereka.

2) KUHP Baru : Pasal 432 sampai dengan 435 Bab XIV tentang tindak pidana penelantaran orang.

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang tua dalam kasus penelantaran anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, khususnya pada Pasal 432 hingga 435 yang terdapat dalam Bab XIi tentang tindak pidana penelantaran orang. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa setiap orang, termasuk orang tua, memiliki kewajiban untuk merawat dan memelihara anak-anak mereka. Dalam hal ini, penelantaran anak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana, mencerminkan komitmen negara untuk melindungi hak-hak anak. Pasal 432 KUHP baru menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan terlantar, padahal menurut hukum ia wajib memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang tersebut, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun. Ini menunjukkan bahwa ada tanggung jawab hukum yang jelas bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan dasar anak mereka. Jika mereka gagal melaksanakan kewajiban ini, mereka dapat dihadapkan pada konsekuensi hukum yang serius. Pasal 433 menegaskan bahwa jika tindakan penelantaran mengakibatkan luka-luka berat atau kematian pada anak, sanksi pidana akan lebih berat. Ini mencerminkan keseriusan hukum dalam menangani kasus penelantaran anak dan memberikan perlindungan ekstra bagi anak-anak yang rentan. 

Dengan demikian, tindakan penelantaran tidak hanya dianggap sebagai kelalaian tetapi juga sebagai pelanggaran serius yang dapat berujung pada sanksi pidana yang lebih berat. Pasal 434 dan 435 menambahkan bahwa jika pelaku adalah orang tua dari anak yang ditelantarkan, maka hukuman yang dijatuhkan dapat ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang memberikan perhatian lebih kepada pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka sendiri. Dengan demikian, sistem hukum Indonesia berupaya untuk memastikan bahwa orang tua bertanggung jawab atas tindakan mereka dan menjamin perlindungan hak-hak anak melalui sanksi pidana yang tegas.

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak : Pasal 76 huruf b jo Pasal 77 huruf b

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang tua dalam kasus penelantaran anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada Pasal 76 huruf b dan Pasal 77 huruf b. Pasal 76 huruf b menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, atau menyuruh melibatkan anak dalam situasi yang mengakibatkan perlakuan salah dan penelantaran. Ini menunjukkan bahwa orangtua memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan bahwa anak-anak mereka tidak mengalami penelantaran dalam bentuk apapun. Selanjutnya, Pasal 77 huruf b mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan tersebut. Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76B dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00. Sanksi ini mencerminkan keseriusan hukum dalam menangani kasus penelantaran anak dan memberikan efek jera bagi pelaku. Dengan demikian, orang tua yang gagal memenuhi kewajiban mereka terhadap anak dapat dihadapkan pada konsekuensi hukum yang berat.

Penting untuk dicatat bahwa penelantaran anak dapat terjadi dalam berbagai bentuk ,termasuk pengabaian fisik, emosional, pendidikan, dan kesehatan. Undang-Undang ini memberikan perlindungan yang komprehensif bagi anak-anak dengan menetapkan bahwa setiap tindakan yang merugikan anak dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini menunjukkan komitmen negara untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan kesejahteraan mereka.

Secara keseluruhan, landasan hukum ini tidak hanya berfungsi untuk menghukum pelaku penelantaran anak tetapi juga sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan serupa di masa depan. Dengan adanya ketentuan hukum yang jelas, diharapkan orang tua lebih memahami tanggung jawab mereka dan berkomitmen untuk memberikan perawatan dan perlindungan yang layak bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap orang tua dalam kasus penelantaran anak diatur oleh beberapa undang-undang dan pasal-pasal hukum pidana. Yang menegaskan bahwa tanggung jawab hukum orang tua untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggaran tersebut.

Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Orang Tua dalam kasus Penelantaran Anak

1) Pasal 26 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak : Orang tua memiliki tanggung jawab utama dalam mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, serta memastikan terpenuhinya hak-hak anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Pasal 26 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjelaskan secara rinci tanggung jawab orang tua terhadap anak. Dalam konteks pertanggungjawaban perdata terkait penelantaran anak, pasal ini menegaskan peran dan kewajiban orang tua, yaitu:

a) Tanggung jawab orang tua :

Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Orang tua juga wajib menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak. Memenuhi hak-hak dasar anak, seperti hak atas kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan dari kekerasan atau diskriminasi.

b) Kewajiban dan Pengabdian :

Jika orang tua gagal memenuhi kewajiban ini, dapat dianggap sebagai penelantaran. Dalam hal ini, orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban perdata karena dianggap melakukan kelalaian atau perbuatan melawan hukum. Pasal 26 ayat 1 dan 2 menekankan bahwa orang tua yang melalaikan kewajibannya, seperti tidak memberikan perlindungan, pendidikan,Matau pengasuhan yang layak, dapat dituntut secara hukum. Dalam konteks pertanggungjawaban perdata, kelalaian orang tua untuk memenuhi hak-hak anak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata), sehingga anak atau wali anak dapat menuntut ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkan oleh penelantaran tersebut.

2) Pasal 77 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak : Setiap orang yang melakukan penelantaran terhadap anak yang menyebabkan anak mengalami kerugian, baik fisik, mental, sosial, maupun emosional, dapat dipidana dengan hukuman penjara dan/atau denda.

Meskipun pasal ini berfokus pada aspek pidana, orang tua yang terbukti melakukan penelantaran anak juga bisa dikenakan pertanggungjawaban perdata. Dalam konteks perdata, meskipun hukuman pidana dijatuhkan, para pihak yang dirugikan, termasuk anak tersebut, bisa menuntut orang tua untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan.

Poin-poin penting terkait dengan pertanggungjawaban perdata, antara lain :

a) Penelantaran anak sebagai perbuatan melawan hukum:

Penelantaran anak oleh orang tua yang menyebabkan kerugian fisik, psikologis, atau sosial dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata. Orang tua yang melalaikan tanggung jawabnya bisa dimintai pertanggungjawaban untuk membayar kompensasi kepada anak.

b) Dampak kerugian terhadap anak:

Jika penelantaran menyebabkan kerugian pada anak, baik materiil (seperti kehilangan 

akses pendidikan atau layanan kesehatan) maupun non-materiil (seperti trauma psikologis), 

tuntutan ganti rugi perdata bisa diajukan.

c) Tindakan perdata dan pidana dapat berjalan paralel:

Meskipun Pasal 77 mengatur pidana, pengajuan tuntutan perdata untuk mendapatkan 

ganti rugi tetap memungkinkan, karena hukum perdata berfungsi untuk mengkompensasi 

kerugian yang timbul akibat tindakan atau kelalaian orang tua.

Dengan demikian, Pasal 77 UU No. 35 Tahun 2014 dapat menjadi landasan dalam 

konteks pidana untuk menindak tegas pelaku penelantaran anak, namun juga membuka ruang 

bagi pengajuan tuntutan perdata untuk memberikan hak-hak kompensasi kepada anak yang 

dirugikan.

3) Pasal 45 KUH Perdata : Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka 

yang belum dewasa.

Jika orang tua gagal dalam melaksanakan kewajiban ini, mereka dapat dimintai 

pertanggungjawaban secara perdata. Hal ini berhubungan dengan prinsip bahwa kelalaian atau 

penelantaran anak dapat menimbulkan hak bagi anak atau pihak yang mewakili anak untuk 

mengajukan tuntutan ganti rugi.

Poin-poin penting terkait pertanggungjawaban perdata, antara lain :

a) Kewajiban Orang Tua:

Pasal 45 KUH Perdata menegaskan bahwa orang tua memiliki kewajiban mutlak untuk 

memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa. Pemeliharaan ini tidak hanya 

mencakup kebutuhan fisik (seperti sandang, pangan, dan papan) tetapi juga pendidikan, 

kesehatan, dan kesejahteraan emosional anak.

b) Kegagalan atau Kelalaian:

Jika orang tua tidak memenuhi kewajiban tersebut, mereka dapat dianggap lalai atau 

melakukan perbuatan melawan hukum. Kelalaian ini bisa berupa penelantaran fisik (tidak 

memberi makan atau tempat tinggal), penelantaran emosional (tidak memberikan perhatian), 

atau kelalaian.

4) Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan yang melawan hukum, yang membawa 

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian 

itu, mengganti kerugian tersebut.

Dalam konteks penelantaran anak, orang tua yang lalai memenuhi kewajiban mereka 

terhadap anak dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Penelantaran ini dapat

menimbulkan kerugian bagi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Oleh karena itu,

orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban perdata untuk mengganti kerugian yang timbul

akibat kelalaian tersebut.

Poin-poin penting terkait dengan pertanggungjawaban perdata berdasarkan Pasal 1365

KUH Perdata, antara lain:

1) Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad):

Penelantaran anak oleh orang tua yang mengakibatkan kerugian bagi anak bisa

diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Orang tua yang gagal memenuhi

kewajiban untuk memelihara, mendidik, dan melindungi anak sesuai dengan hukum dianggap

melanggar hak-hak anak.

2) Elemen Perbuatan Melawan Hukum:

Berdasarkan Pasal 1365, untuk mengajukan gugatan perdata, harus ada beberapa

elemen yang terpenuhi:

a) Adanya perbuatan melawan hukum: Dalam kasus ini, penelantaran anak;

b) Kesalahan (kelalaian): Orang tua yang gagal memenuhi kewajiban hukumnya;

c) Kerugian: Anak mengalami kerugian fisik, psikologis, atau sosial; dan

d) Kausalitas: Hubungan langsung antara perbuatan orang tua dan kerugian yang dialami

anak.

3) Kompensasi (Ganti Rugi):

Orang tua yang menelantarkan anak dapat dituntut untuk memberikan kompensasi atau

ganti rugi kepada anak tersebut. Ganti rugi ini bisa bersifat:

a) Materiil: Seperti biaya pengobatan, pendidikan, atau perawatan yang tidak dipenuhi karena

penelantaran.

b) Non-materiil: Seperti kerugian psikologis atau emosional yang diderita anak akibat

penelantaran.

4) Hubungan dengan UU Perlindungan Anak:

Penelantaran anak juga diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak, yang memperkuat hak anak atas pengasuhan, perlindungan, dan pemeliharaan. Jika

orang tua melanggar hak-hak tersebut, mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara

pidana dan perdata.

Dengan demikian, Pasal 1365 KUH Perdata memberikan dasar hukum bagi anak atau

pihak yang mewakili anak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap orang tua yang

melakukan penelantaran. Orang tua yang terbukti lalai dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kerugian yang dialami anak akibat kelalaian tersebut.

Dapat ditarik Kesimpulan bahwa orang tua yang melakukan penelantaran anak tidak

hanya dapat dikenakan sanksi pidana tetapi juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara

perdata. Kerugian yang dialami oleh anak akibat penelantaran tersebut, baik yang bersifat

materiil maupun non-materiil, dapat menjadi dasar bagi pengajuan tuntutan ganti rugi. Hukum

Indonesia melalui UU Perlindungan Anak dan KUH Perdata memberikan perlindungan

menyeluruh terhadap hak-hak anak dan menuntut orang tua yang lalai untuk bertanggung

jawab.

Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana dan perdata

terhadap orang tua dalam kasus penelantaran anak menunjukkan bahwa:

1) Tanggung Jawab Hukum: Orang tua memiliki kewajiban mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, termasuk aspek fisik, emosional, dan pendidikan. Kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab ini dapat dikenakan sanksi pidana dan perdata sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia;

2) Pertanggungjawaban Pidana: Penelantaran anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan sanksi bagi orang tua yang gagal memberikan perawatan yang layak. Sanksi ini bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penelantaran;

3) Pertanggungjawaban Perdata: Orang tua juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata jika penelantaran mengakibatkan kerugian bagi anak, baik secara fisik maupun emosional. Hukum memberikan dasar bagi anak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat kelalaian orang tua; dan

4) Pentingnya Perlindungan Anak: Penelantaran anak tidak hanya merugikan individu tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak-hak anak harus menjadi prioritas dalam penegakan hukum.

E. Daftar Pustaka

Asalcunsri, Menilik Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Tindakan Penelantaran Anak, https://www.alsalcunsri.org/post/menilik-pertanggungjawaban-orang-tua-terhadap-tindakan-penelantaran-anak, diakses di Pematangsiantar Tanggal 19 September 2024

CNN Indonesia, “iiral Anak aaki-aaki Dipasung di Bekasi, Orang Tua Diperiksa”, 2022,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220722084239-12-824694/viral-anak-laki-laki-dipasung-di-bekasi- orang-tua-diperiksa/amp, diakses di Pematangsiantar tanggal 19 September 2024

Febri Argo Kurniawan, “Aspek Pidana Penelantaran Anak oleh Orang Tua”, 2022, http://eprintslib.ummgl.ac.id/2485/1/16.0201.0073_BAB%20I_BAB%20II_BAB%20III_BAB%20i_DA TAR% 20PUSTAKA.pdf, diakses di Pematangsiantar 

Rahna Wulansari, Dampak Penelantaran anak terhadap perkembangan Sosial-Emosional https://etheses.uinmataram.ac.id/3613/1/Rhana%20Wulansari%20180110080%20.pdf, diakses di Pematangsiantar Pada 19 September 2024 

Ruryarnesti, “Strategi Noping Remaja Korban Parental Abuse ditinjau dari Status Sosial Ekonomi Orangtua dan Gender Korban,” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 7

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, P.T. Alumni, Bandung, 2013, hlm. 94.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Depok, 2019, hlm. 12-24.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Net. 5, Jakarta : Balai Pustaka, 1976, hlm. 38

Willa Wahyuni, Hukum Menelantarkan Anak dan Sanksi Pidananya, https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-menelantarkan-anak-dan-sanksi-pidananya-lt623c341708a22/, diakses di Pematangsiantar Tanggal 19 September 2024,

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun