Kasus penelantaran anak yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 2022 menjadi perhatian publik. Anak tersebut mengalami penyiksaan dan kekerasan yang sangat kejam dari orang tua kandung dan ibu tirinya. Keadaan ini terungkap ketika anak itu berhasil melarikan diri dan ditemukan oleh warga dalam kondisi sangat memprihatinkan dengan kaki terikata rantai. Kasus ini viral di media sosial, mencerminkan betapa pentingnya kesadaran dan perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran. Setiap individu berhak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang layak, dan kasus ini mengingatkan kita semua akan perlunya perhatian dan tindakan yang lebih serius terhadap isu- isu perlindungan anak.1
Kasus penelantaran anak di Bekasi menunjukkan gambaran menyedihkan dari apa yang sering disebut “parental abuse” atau penyiksaan oleh orang tua. Dalam kasus ini, orang tua pelaku tidak hanya mengabaikan kebutuhan dasar anak, tetapi juga menggunakan kekerasan fisik yang brutal sebagai metode mendisiplinkan. Mereka menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk memperlakukan anak dengan cara yang sangat kejam, seringkali dengan dalih bahwa tindakan mereka adalah bagian dari proses pendidikan dan disiplin. 2
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), sebagai orang tua sudah diatur ketentuan bahwa jika suatu pernikahan mendapati keturunan atau anak, maka dalam hubungan pernikahan itu tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, melainkan juga melahirkan kewajiban antara suami-istri yang berhubungan selaku orang tua dari anak-anaknya.3
Penelantaran anak dapat didefinisikan sebagai kegagalan orang tua atau wali untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti kebutuhan pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan karena menyebabkan kerugian bagi anak yang berhak mendapatkan perlindungan dan perhatian penuh dari orang tua mereka. Hukum memberikan dasar bahwa orang tua memiliki tanggung jawab mutlak dalam pemenuhan hak-hak anak. Setiap anak butuh merasa dicintai dan aman, tetapi anak-anak yang diabaikan sering kali merasa sendirian dan terabaikan. Dampaknya tidak hanya terlihat di fisik mereka, tetapi juga menyentuh hati dan pikiran mereka.
Penelantaran ini bisa terjadi dalam banyak bentuk, seperti ketika seorang anak tidak diberi makan dengan cukup, dibiarkan sakit tanpa perawatan, atau bahkan tidak didaftarkan ke sekolah. Anak-anak yang tumbuh tanpa perhatian yang cukup bisa merasa tidak berharga atau tidak dicintai. Bayangkan seorang anak yang lapar karena orang tuanya tidak peduli untuk menyediakan makanan, atau seorang anak yang kesepian karena tidak ada yang mendengarkan keluhannya. Anak-anak ini tidak hanya merasa ditinggalkan secara fisik, tetapi juga kehilangan rasa aman yang seharusnya mereka dapatkan dari keluarga. Pada akhirnya, mereka mungkin tumbuh dengan perasaan terluka yang mendalam dan kesulitan mempercayai orang lain.
Bentuk penelantaran yang paling sering tidak terlihat adalah penelantaran emosional. Orang tua mungkin ada secara fisik, tetapi mereka tidak hadir secara emosional. Anak-anak butuh lebih dari sekadar tempat tidur dan makanan; mereka butuh perhatian, pujian, dan pelukan hangat. Saat mereka tidak mendapatkan itu, mereka tumbuh dengan rasa hampa, seolah-olah mereka tidak penting bagi orang-orang yang seharusnya paling mencintai mereka.
Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sangat serius, dengan dampak yang luas pada perkembangan fisik, emosional, dan sosial anak. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak mencakup berbagai tindakan penganiayaan, baik fisik, emosional, seksual, maupun kelalaian dalam pengasuhan.4 Tindakan ini bisa secara langsung membahayakan kesehatan, martabat, atau perkembangan anak. Ketika orang tua atau pihak yang bertanggung jawab gagal memberikan itu semua, anak-anak berisiko menghadapi berbagai masalah yang bisa membekas sepanjang hidup mereka.
Pada dasarnya, penelantaran anak adalah pelanggaran terhadap hak dasar anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih dan dukungan. Setiap anak berhak merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi. Anak, sebagai bagian dari subjek hukum, memiliki hak-hak asasi yang melekat padanya sejak lahir. Hak ini diakui secara internasional melalui Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) tahun 1989, yang menekankan bahwa anak-anak memiliki hak untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kebahagiaan, cinta kasih, dan pengertian.
Penelantaran tidak hanya merugikan anak-anak secara langsung, tetapi juga merusak masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang tumbuh dalam penelantaran sering kali membawa luka mereka ke masa dewasa, mempengaruhi cara mereka melihat dunia dan bagaimana mereka membangun hubungan dengan orang lain. Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita semua baik itu orang tua, guru, atau tetangga untuk memperhatikan tanda-tanda bahwa seorang anak mungkin sedang ditelantarkan. Dengan membantu mereka, kita bisa memberikan kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk tumbuh dengan rasa aman dan dicintai, seperti yang seharusnya mereka dapatkan.
Kasus penelantaran anak tidak hanya melanggar hak-hak dasar yang diakui secara nasional maupun internasional, tetapi juga dapat membawa konsekuensi hukum bagi orang tua4 atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan anak tersebut. Penelantaran anak mencakup berbagai bentuk pengabaian, seperti tidak memenuhi kebutuhan dasar mereka, baik itunkebutuhan fisik, pendidikan, maupun kasih sayang yang sangat diperlukan untuk perkembangan mereka. Oleh karena itu, hukum pidana di Indonesia dengan tegas memberikan sanksi kepada orang tua yang menelantarkan anaknya, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam ketentuan hukum yang berlaku demi memastikan anak-anak tumbuh dengan aman dan terlindungi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menempatkan tanggung jawab yang besar pada orang tua untuk memberikan perlindungan dan perawatan yang memadai bagi anak-anak mereka. Kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik dalam bentuk sanksi pidana maupun pertanggungjawaban perdata. Konsep pertanggungjawaban perdata mengacu pada kewajiban orang tua untuk memperbaiki kerugian yang timbul akibat penelantaran. Penelantaran anak sering kali berakar dari berbagai faktor sosial dan ekonomi yang kompleks. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk memahami bagaimana sistem hukum dapat menanggapi dan mengatasi masalah ini dengan efektif. Pertanggungjawaban perdata menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya perlindungan anak dan pemulihan hak-haknya yang terganggu.