Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percik Rindu di Tengah Hujan Senja

23 November 2024   19:32 Diperbarui: 23 November 2024   22:41 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Hujan Senja (Sumber Buatan AI)

Senja berbalut hujan tipis perlahan menyelimuti Desa Sukamaju, sebuah tempat yang tenang di kaki bukit dengan hamparan sawah dan jalan-jalan kecil berbatu. Hujan turun perlahan yang membasahi atap-atap rumah dan pepohonan di sepanjang jalan. Di sebuah rumah sederhana bercat putih, seorang wanita bernama Laras berdiri di dekat jendela dan memandangi rintik hujan yang jatuh dengan tatapan hening.

Laras adalah seorang guru yang dikenal sabar dan penuh perhatian pada murid-muridnya. Senyumnya selalu tampak di depan orang lain meskipun menyimpan kerinduan yang tak pernah terungkap. Di tangannya tergenggam sebuah buku tua berisi puisi-puisi yang pernah ia tulis bersama seseorang di masa lalu. Hujan senja seperti ini selalu membawa kenangan lama yang membuat hatinya bergetar untuk mengenang sebuah janji yang kini tersisa hanya sebagai ingatan.

Hujan senja kali ini terasa berbeda, seakan membawa pesan dari seseorang di kejauhan yang tengah merindukan sama kuatnya dengan apa yang ia rasakan. Hujan di luar semakin deras, mengalun seperti lagu pengantar dalam kesunyian rumah Laras. Di ruang tamu yang hangat, suara cangkir-cangkir beradu terdengar dari dapur kecil di sudut ruangan. Bu Marni tengah menyiapkan teh hangat. Meskipun wajah Bu Marni tampak tenang, ada seberkas kecemasan yang terpantul di matanya saat sesekali menatap Laras dari kejauhan.

Pak Surya duduk di kursi dekat meja makan, sesekali melirik ke arah putri sulungnya. Pak Surya adalah sosok yang penuh wibawa, seorang petani yang tak pernah lelah bekerja untuk keluarganya. Ia tidak banyak bicara namun sikapnya yang tenang sering menjadi penopang di keluarga kecil mereka. Melihat Laras yang termenung di dekat jendela, ia hanya menghela napas panjang. Ia tahu putrinya memendam sesuatu namun memilih menunggu hingga Laras sendiri siap bercerita.

Adik bungsu Laras bernama Adit baru pulang dari sekolah, berlari-lari kecil ke ruang tamu dengan jaketnya yang basah. Dengan ceria, Adit mencoba mencairkan suasana, "Kak Laras, Kak Laras! Lihat, aku tadi main hujan di jalan! Seru sekali, tapi dimarahin sama Bu Asih," katanya sambil tertawa. Namun ketika melihat Laras yang hanya tersenyum tipis, Adit pun diam.

Bu Marni menghampiri Laras dengan cangkir teh hangat di tangannya. "Ini, nak, teh hangatnya," ujar Bu Marni lembut sambil meletakkan cangkir itu di meja dekat jendela. Ia menatap putrinya dengan penuh kasih seolah berharap kehangatan teh itu bisa mengusir kegundahan yang tampak di wajah Laras.

"Terima kasih, Bu," jawab Laras pelan sambil tersenyum kecil dan menerima cangkir itu dengan kedua tangannya. Aroma teh jahe menguar, membawa kehangatan yang sempat memecah lamunannya.

"Laras, kalau ada yang ingin kamu ceritakan, jangan disimpan sendiri," ujar Pak Surya akhirnya, suaranya rendah namun penuh perhatian. "Kami di sini selalu siap mendengarkan."

Laras menatap wajah ayahnya yang mulai berkerut karena usia, kemudian ibunya yang selalu mendampinginya dengan kasih yang tulus. Sesaat ia ingin bercerita tentang sosok yang tengah dirindukannya, tentang janji-janji yang dulu pernah mereka ikrarkan bersama. Namun lidahnya seolah kelu.

"Mungkin nanti, Pak. Untuk sekarang... aku masih perlu waktu," jawab Laras, mencoba tersenyum, meskipun hatinya penuh gejolak. Pak Surya mengangguk pelan, sementara Bu Marni mengusap punggung Laras dengan lembut. Adit yang mulai memahami kesunyian di sekitar, duduk di samping kakaknya. Ia memandang Laras dengan penuh rasa ingin tahu meskipun tak tahu bagaimana harus membantu. Di dalam kehangatan rumah itu, Laras merasa diterima dan disayangi walaupun rasa rindunya tetap beriak bersama hujan senja yang terus mengguyur tanah desa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun