Seperti tiga malam sebelumnya Solikhin masih enggan mengajak bicara apalagi menjamah Haning. Puncaknya malam ini semua yang bergumul dalam benak Haning ia tumpahkan.
Solikhin masih terdiam, seperti seonggok patung bernyawa yang melamun di tepi ranjang. Tiga bulan lalu ranjang itu adalah saksi antara dirinya dan Haning. Kini?? Matanya jalang menyawang jendela malam yang menaburkan bintang di cakrawala. Tapi tidak dalam kamarnya itu.
Mata Haning tak kalah garang. Ia memandang Solikhin tak berkedip. Seperti singa hendak melahap mangsanya. Sepatah kata terlontar dari mulutnya.
"Jangan jadikan malam ini layaknya malam dendam kesumat. Sejatinya akuilah kau pasti sangat merindukanku," kata Haning sembari melemparkan pandangannya ke dinding.
Terpampang jelas foto pernikahan mereka berbingkai ukir kayu jati. Penuh nuansa eksotis dan mistis.
"Aku bukan yang kamu harapkan dik. Ketahuilah aku tak ingin keadaan seperti ini terus-menerus menimpa kita. Sampai kapan kau harus terus berhubungan dengan yang namanya Karno?" ucap Solikhin tiba-tiba.
Dan ia masih duduk di tepi ranjang. Tanpa melihat Haning.
Heningnya malam itu tampak jelas terasa. Solikhin bangkit dari duduknya. Memandang keluar dengan tatapan kosong.
"Huuuuffttt, beginikah kau membolak-balikkan perasaanku Ning?" ucapnya pelan.
Haning diam. Ia mengayunkan langkahnya pelan. Dipeluknya Solikhin dari belakang. Sedikit kaget, Solikhin menyentakkan tangan Haning perlahan.
"Kenapa mas? Kenapa kau tak mau aku peluk malam ini?" tanya Haning seraya merajuk manja.