"Le, ojo ngeyel yo" salah satu orang tersebut mulai tidak sabar dengan tingkah Tirta. Â Segera Tirta didekap dan orang-orang mulai menggergaji pohon gayam itu
Tirta semakin histeris, sekarang kemarahannya bertambah dengan air matanya bercucuran. Â Aku ikut menangis. Â Lalu nenekku datang tergopoh-gopoh dan memelukku.Â
"Tidak......jangan ditebang pohonnya....nanti Peri Penunngu Sendang marah dan pergi" teriak Tirta mulai putus asa ".Lik jangan lik, Niraaaaa......ayo bantu aku, kita jaga pohon ini Nira" Tirta menoleh kepada dengan pandangan memohon. Â Aku semakin takut bersembunyi dibelakang nenekku.
Gergaji itu semakin dalam memotong pohon itu dan suara Tirtapun semakin habis hanya tinggal tangisannya saja. Â Lalu pohon pertama roboh dan Tirtapun pingsan.Â
Lalu nenek menggendongku pulang ke rumah, tidak jadi pergi ke sawah.
Seminggu kemudian nenek mengajakku ke sawah dan menawariku lewat jalan lain, tapi aku menolaknya.  Aku memilih melewati sendang itu.  Aku ingin bertemu dengan Tirta.  Namun begitu sampai ke tempat itu ternyata suasananya sudah berubah, tempat yang  biasanya teduh menjadi terang benderang karena dua pohon gayam yang menaungi sudah ditebang.Â
Orang-orang sudah mulai membuat pondasi di sekeliling sendang. Â Pondasi itu berbentuk piramida terpotong.
Aku memanggil-manggil Tirta, namun tidak ada jawaban
"Lik, apa lihat Tirta " tanyaku kepada Pak Tukang
"Ndak Nak, sudah seminngu ini Tirta tidak terlihat main kemari"
Esoknya aku minta lewat jalan yang sama, sambil tetap berharap bisa bertemu Tirta, ternyata sampai aku masuk sekolah SD aku tidak pernah bertemu lagi dengan Tirta. Â Tirta seperti hilang ditelan Bumi.