"Emmmm, aku tidak kuat membawa sebanyak itu" jawabku
"Biar dibawakan sama mbah putrimu saja.... kamu haus ya, itu minum air sendang. Â Aku biasa minum airnya ndak papa khok" sepertinya dia tahu apa yang sedang kupikirkan
Dia menggandengku dan mengambilkan air dengan daun gayam yang dibuat seperti corong. Â Aku segera meminumnya karena memang kehausan. Â Ah alangkah segarnya tenggorokanku.
"Siapa namamu?" tanyaku
"Tirta" jawabnya cepat " kalo kamu"
"Nira" jawabku "Rumahmu di mana?" tanyaku lagi
"Di barat situ" katanya sambil menunjuk kearah barat, aku tidak melihat ada rumah, mungkin tidak terlihat karena tertutup rumpun bambu. Â "Setiap hari aku main di sini, aku menganggap pohon gayam dan sendang ini rumahku yang sebenarnya. Â Di sini aku ketemu orang yang lewat dan orang yang mengambil air, sedangkan di rumah aku sering sendirian" wajahnya terlihat agak sedih.
"Trus kalo kamu lapar gimana?" tanyaku keheranan
"Aku makan buah gayam dong....ehmmmm enaaaakkk?" aku ikut mengangguk membenarkan, karena memang buahnya rasanya gurih seperti kacang mede.
Setelah itu nenek sampai ketempatku berdiri. Â Nenek juga beristirahat sebentar untuk mencuci muka di sendang itu. Â Nenek setuju membawa buah gayam yang diambilkan Tirta.
Selanjutnya setiap aku diajak nenek ke sawah, aku selalu memilih  melewati pohon Gayam itu.  Nenek tahu kalo aku dan Tirta sudah berteman. Kadang nenek sengaja menunggu aku yang sedang asyik bermain bersama Tirta.  Nenek juga memperbolehkan aku mandi di sendang itu sepulang dari sawah.