Kadang kami bermain petak umpet, membuat kipas dari daun gayam, membuat perahu-perahuan, kadang Tirta mengajariku memanjat pohon, kadang cuma duduk-duduk bercerita tentang peri penunggu mata air yang katanya cantik dan baik hati. Â Anak gadis mana yang tidak suka diceritakan tentang peri. Â Tirta semakin antusias bercerita kalo aku banyak bertanya, walaupun kadang kalau dia bingung hanya menjawab dengan tertawa ngakak saja.
Sampai suatu ketika musim kemarau panjang terjadi. Â Warga desa mulai kesulitan air. Â Sumur warga banyak yang kering. Â Tapi sumber mata air di bawah pohon gayam itu tetap mengalir deras. Â
Berdasarkan musyawarah dengan pemerintah desa ditetapkan air dari sendang itu akan disalurkan ke warga desa dengan pipa. Â Rencananya keliling sendang itu akan dipondasi sehingga airnya akan naik sehingga airnya bias disalurkan ke rumah warga. Â Sayangnya pohon gayam itu dianggap sebagai penghalang pembuatan pondasi tendon air sehingga pohon itu harus ditebang.
Pada waktu itu aku dan Tirta yang sedang bermain di bawah pohon gayam  sedang bermain memanjat pohon.  Kami terkejut melihat beberapa lelaki dewasa membawa gergagi panjang, kampak dan parang.  Tirta segera berlari menemui orang-orang itu.
"Lik, mau kemana?" Â Tanya Tirta, orang itu belum menjawab "Lik buat apa gerjaji itu" Tanya tirta lagi
"Mau dipakai menebang pohon gayam itu Le" jawab orang yang paling besar badannya
"Pohon gayam yang mana Lik"
"Ya 2 pohon gayam yang besar itu, jadi kamu jangan main disini dulu ya" jawab orang yang badannya lebih kecil dan berkumis
"Tapi Lik, pohon gayam itu khan rumahku Lik, jadi jangan ditebang Lik. Â Kalo di tebang aku tinggal di mana?" Tirta yang biasanya selalu ceria tiba-tiba wajahnya tampak gusar.
"Kamu khan punya rumah sendiri to Le" jawab orang yang memakai baju safari.
"Tidak...ini rumahku, jangan ditebang pohon ini" Tirta berteriak dan berusaha menghalang-halangi dengan tangan kecilnya.