Aku benci hujan.
Baunya yg bercampur tanah, segar.
Mengingatkanku pada payung.
Aku benci pelangi sesudah hujan.
Senyumnya mempermainkanku.
Sendu mata yang pernah bersitatap.
Hingga bola mataku lekat menangkap bayangnya.
Kenangan itu membeku, seperti jemariku yang membisu.
Para pengunjung kedai terdiam, terpekur. Hingga sang pemilik kedai menyunggingkan senyumnya sembari bertepuk tangan dan mengelap air yang meleleh di matanya.
Penyair itupun pergi, berjalan di bawah gerimis. Ia menaiki kudanya yang terus mendengus kedinginan. Akhirnya ia putuskan memacu kudanya untuk berlari lebih kencang. Entah sudah pukul berapa, pandangannya mulai tertutup kabut. Ia tak tahu arah mana lagi yang hendak dituju. Ia terus memacu kudanya hingga tak terasa seperti sedang menaiki seekor kuda yang berlari, ia seperti terbang menembus kabut pekat. Andai di depan sana adalah jurang mungkin ia sudah tak peduli lagi, entah mengapa ia menjadi semakin penasaran pada kabut yang bahkan membuatnya tak mampu melihat tangannya sendiri.
Ia terus ‘terbang’ menembus pekatnya kabut. Sampai secercah cahaya mulai terlihat di depannya dan tiba-tiba…