Marc berdiri lalu membalikkan badannya, “Apa yang kau katakan wahai orang tua? Bukankah dengan adanya hujan harusnya kita bersuka cita? Mengapa mukamu bermuram durja?” katanya lantang.
Para penghuni kedai terdiam, tak yakin dengan yang sedang terjadi. Mereka selalu mendengar cerita tentang penyair pengelana yang selalu melantunkan puisi di sepanjang perjalanan. Penyair yang nama dan sajaknya sudah terlebih dulu tersebar seantero negeri daripada orangnya.
Tahu darimana pak tua ini, bahwa aku adalah seorang penyair? Marc berpikir, ia penasaran, sudah sering ia menjumpai orang yang menyapanya seperti sudah berkawan lama tapi dirinya merasa tidak pernah mengenal orang itu.
“Duhai penyair legendaris, puisimu tersebar di seluruh negeri agraris, apakah engkau akan meninggalkan kami tanpa meninggalkan satu saja puisi liris? Sedang menatap hujan yang belum lagi berubah jadi gerimis saja hati ini sudah demikian miris..”
Itu puisiku! Teriak Marc dalam hati.
“Pak tua, andai kudendangkan sebuah nada, akankan sajak bisa mengaburkan mana mimpi mana nyata? Padahal tanpa diduga seluruh rasa sudah kuubah menjadi deretan aksara, tak mungkin hujan gerimis mau berubah menjadi abu vulkanis, jika batin sang penyair saja masih juga teriris-iris?”
“Penyair, engkau masih begitu muda, jiwamu pastilah setekad baja. Aku bukanlah orang tua yang pandai berkata-kata apalagi memberi petuah, tapi inilah yang kurasa. Jiwa sedihmu, adalah kantung harapanmu untuk melihat masa depan yang terang benderang. Jika sedihmu saja mengalahkan rasa yang ingin kauutarakan, maka ingatlah satu hal, bahwa dirimu itu milikmu dan seluruh pikiran dan rasa hanya akan manut pada empunya jiwa”
“Baiklah pak tua, apabila hujan akan mereda ketika sajak bermandikan bait derita. Maka biarkan aku mendendangkan syair pelipur lara”
Hujan siang ini,
Mendadak serintis air menarik gerimis berpulang kelam
Mengapa gundah sepi mendera?