Mohon tunggu...
David Hukom
David Hukom Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seseorang yang ingin berkreasi kesenian sebebas-bebasnya di bidang tulis menulis atau seni apapun

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Bulan, Penyair, Puisi

4 Oktober 2013   16:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka biarlah padamu rindu ini menetap

Ia melantunkan puisinya sepanjang jalan sambil menikmati pemandangan di kanan kirinya, hatinya merasa begitu tenang, damai, senyum terus tersungging di wajahnya di sepanjang perjalanan. Hingga salah seorang petani yang usai menggarap sawah menegurnya.

“Hai anak muda. Siapakah gerangan yang menaiki hewan asing dan merangkai gugusan kata bermakna cinta?”

“Pak tua, salam sejahtera, aku asing di negeri orang, entah dimana senja memerangkap jiwa, mimpikah atau nyata bayang padad larik mata yang sedang terjaga?”

“Anak muda, tuturmu halus serupa senja, lihatlah gerangan di sudut desa, matahari sedang tersenyum geli melihatmu tertatih menaiki hewan tak beralas kaki. Anak muda turunlah, nikmatilah desa kami, aku yakin engkau pasti berasal dari negeri yang jauh. Inilah desa suka damai.”

Marc turun dari kudanya, menyisiri jalanan bersama kenalan barunya. Ia mempertanyakan hal-hal yang daritadi muncul di kepalanya, tentang kabut yang pekat, tentang warna senja yang semburat, tentang kedamaian hati yang didapat, dan damai yang tak ingin dijadikannya berkarat.

“Duhai anakku, aku tak pernah melihat kabut yang engkau ceritakan dan tak pernah tahu ada kota-kota di luar sana seperti yang engkau kisahkan, kami para penduduk desa tak pernah pergi sejauh itu, kami sudah sangat menikmati kehidupan. Caramu bernyanyi tadi, mengapa tak ada nada di sana? Tuturmu yang indah itu, dan susunan kata yang bermakna. Apakah gerangan itu namanya?” orang tua itu bertanya.

Marc tersenyum dan menjawab, “Kalian sungguh tak pernah mengetahui syair? Orang-orang menyebutnya puisi, deretan kata-kata yang disusun secara sistematis hingga menyerupai mantra mistis”.

Mereka sampai di kawasan rumah penduduk setempat. Pak tua itu ternyata bernama Rod, setidaknya begitu orang-orang disekitar menyapanya. Rod tua mengenalkan Marc pada seluruh penghuni desa. Rod menyuruh Marc tinggal bersamanya. Tak lama kemudian mereka sampai di kediaman Rod.

Sore sudah tiba, senja mulai menampakkan diri menjemput raja matahari. Dari balkon rumah kayu milik Rod, Marc memperhatikan itu, pemandangan senja terindah yang pernah dilihatnya, ia tak ingin sedetikpun melewatkannya, jingga, kuning, merah, orange, semua berbaur menjadikan perbedaan tak lagi bermakna selain indah. Ia mulai mengambil serulingnya, meniupnya sebentar menyenandungkan beberapa nada minor. Lalu diam dan merakit bait.

* Pada sebuah jeda, ada kosong yang menghamba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun