Maka biar, suka duka, derita, kelam, petang bahagia,
Hanyalah menjadi urusan hati.
Terdengar tepukan tangan riuh rendah ramai di kedai sore itu. Sang penyair membungkukkan badannya dan bersiap pergi.
“Duhai penyair, secepat itukah engkau berpuisi? Padahal hati belum lagi terobati. Ceritakan pada kami tentang rasa rantau rantai rindu pada kekasih” teriak pemilik kedai setelah meloncat ke atas meja.
Marc menoleh dan tersenyum, “Rindumu adalah pengganti pembayaaran bagi sakit yang meradang, maka biar aku bacakan untukmu untaian sajak yang tak akan lagi kubaca ulang”
* Jemariku menyentuh kaca, dingin.
Bulir hujan menempel dari luar.
Bulatan bening, memantul warna.
Dingin menyibak.
Sadarku memberontak.
Aku terpekur pada suatu masa.