Sang dewi rembulan sangat senang, kenapa? Ttak lain tak bukan karena warga desa merayakan kedatangan sang penyair. Sang rembulan penasaran dengan pemuda itu, ia ingin menatap lagi lebih dekat. Para penduduk yang melihat bulan yang tampak lebih bulat, lebih terang, dan lebih dekat dari biasanya pun terheran-heran, apakah karena kedatangan sang penyair ini? Hanya sang dewi yang mengetahui jawabannya.
Pemuda itu digiring menuju lapangan yang luas dimana semua orang sudah berkumpul dan ingin melihatnya. Baru mengucapkan salam, sudah ada beberapa orang mengacungkan tangan ingin bertanya. Marc menjawab semua itu sebisanya, ia datang darimana, bagaimana ia bisa sampai ke tempat itu, bagaimana ini bagaimana itu. Sampai akhirnya di penghujung malam, Rod tua mengakhiri acara, dan mengatakan esok akan ada lagi acara serupa. Seluruh warga desa pulang ke rumah masing-masing juga Rod dan Marc.
Sampai di rumah, Rod tua langsung berpamitan tidur. Marc masih belum bisa terpejam, ia masih penasaran dengan yang dialaminya seharian ini. Seperti mimpi. Ia kemudian duduk di balkon rumah Rod dan menyalakan sebatang rokok. Ia menghembuskannya perlahan sambil kemudian menengadahkan kepala.
Astaga! Ia kaget sampai terbatuk-batuk, pemandangan di depannya itu, bulan tampak begitu besar, dan sangat terang dan ia baru menyadari itu. Terang yang daritadi dilihatnya ternyata bukanlah berasal dari lampu bohlam, tapi bulan. Ia juga baru menyadari bahwa tak ada lampu di desa ini. Terangnya bulan hampir hampir seperti matahari disiang hari. Astaga, itu bulan begitu cantiknya.
Bulan purnama,
Bermandikan cahaya,
Bersimbah cerahnya
Mengapa bermuram durja?
Apakah karena sedang dibuai asmara?
Atau karena asing datang dan merusak suasana?
“Kau pintar sekali memainkan kata, yang seperti itu apa namanya?” dewi bulan bertanya pada sang pemuda.