“Iblis jahanam! Masih kurangkah kedalaman nerakamu? Atau masih kurang panaskah api nerakamu hingga kau menebarkan kebencian di bumi kahyangan yang suci! Ha?!”
“Aduhai raja surya, kau begitu perkasa, hingga tetesanmu saja mampu melumerkan neraka. Aku tidak menghasutmu, aku hanya mengungkap fakta yang sedang terjadi di kerajaan agung ini. Lihatlah sendiri kalau kau tak percaya”
Sang surya yang mengamuk dan dirundung amarah melesat menggunakan kereta kencana menuju kerajaan bulan tempat dewi chandrina berada. Ia yang tak percaya dengan sang iblis tersentak kaget ketika mendapati seorang makhluk mulia yang harusnya dipuja manusia malah bercumbu mesra dengan manusia penyair durjana. Melompatlah ia dari kereta dengan segala amarah dan cemburu yang telah lama dipendamnya meledaklah api panas membakar semuanya. Hancur sebagian besar wajah bulan. Sang dewi yang ketakutan tak mampu berbuat apa-apa. Penyair yang tertunduk juga tak mampu melawan kebesaran sang surya.
“TERKUTUK KALIAN BERDUA!!”
Teriak sang raja matahari, hatinya luka. Otaknya dibakar amarah, benci dan dendam telah merasukinya tipu daya iblis telah masuk di darahnya di sel-sel tubuhnya. Dengan segala kekuatan dilemparkannya sang pemuda kembali ke bumi. Apa daya di desa yang penduduknya arif dan ramah mendadak beringas, ketika mengetahui Marc telah mencuri benda pusaka di kuil terlarang dan membuat murka alam raya. Mereka hendak membakar pemuda itu.
Marc diseret turun dari atas bukit menuju lapangan besar, diarak oleh penduduk kampung, mereka mengikatnya di sebuah tiang tinggi dan bersiap menyalakan api pembakaran. Saat-saat genting itu sang surya datang bersama dewi bulan dan dewa seluruh alam, Batara Brahma.
Sang Brahma dengan segala kebajikannya berkata kepada mereka semua,
“Lepaskanlah pemuda itu, telah kukutuk ia menjadi asu. Dia hanya akan menjadi serigala pemangsa, biarlah ia menjadi golongan marjinal. Rembulan telah menyadari kesalahannya, sejak saat ini ia telah kuhukum. Begitu juga dengan surya yang telah terhasut tipu daya iblis untuk mempergunakan emosi”
Para penduduk menurut, pemuda dilepaskan dan ia berubah menjadi serigala besar lalu lari menuju hutan. Rembulan telah dihukum sepanjang hayatnya, hanya boleh menampakkan purnama sekali setiap tiga puluh hari, surya telah dihukum dengan ditiadakan keabadiannya, ia menjadi seperti korek api yang memiliki umur, yang suatu saat akan mati.
Sejak saat itu desa tersebut berubah menjadi desa yang lazim seperti daerah-daerah lainnya, tak ada lagi desa impian seperti negeri utarakuru dalam kisah pewayangan, semua menjadi normal. Tak hanya kebaikan bertengger disana, kejahatan bisa masuk dan bermukim di dalamnya. Sejak saat itu pula ketika purnama tiba, sang serigala akan melolong panjang merindukan kekasihnya yang tak mungkin lagi bisa ditemui.
Wajah bulan menjadi sendu, pucat, tak ada lagi aura terangnya. Cerahnya telah memudar, hatinya luka. Sejak saat itu bulan membutuhkan bantuan matahari untuk bersinar. Hingga malam tak ada lagi terang, hanya kelam. Hitam pekat dan wajah sendu sang dewi rembulan. Karena cintanya terbentur dinding. Dinding pembatas yang seharusnya tak mampu dilanggar, mampu dihancurkan begitu saja oleh cinta.