Pemuda itu terdiam, ia memikirkan suatu cara. Cara yang harusnya tak pernah terlintas di pikirannya. Entah mengapa ia seperti melupakan logikanya, entah karena memang sudah tumpul dari sananya, atau karena cinta memang membuat orang waras menjadi gila? Entahlah.
Tak terasa hari berganti tahun, Marc sudah dianggap sebagai warga asli desa tersebut. Ia diterima dengan sangat baik oleh seluruh penduduk. Ia bekerja bersama Rod dari pagi hingga siang, mendongengkan anak-anak sorenya, dan berpuisi sesudahnya. Malam hari ketika sepi melanda desa, sunyi mulai merayap lamat ke setiap penjuru rumah, ia datang ke bukit paling tinggi di daerah itu. Untuk bercengkerama dengan kekasihnya, rembulan.
Dua makhluk dimabuk asmara. Kata orang, cinta itu bisa membuatmu mati jika tak tahu cara mengendalikannya. Mereka saling melempar sajak, dan puisi, romantisme sepanjang malam hingga pasukan fajar datang menggantikan petang. Mereka tak menyadari satu hal. Marc tak menyadari satu hal. Bahwa ada yang menguntitnya diam-diam. Mencuri dengar pembicaraan mereka dalam-dalam. Meneguk rahasia itu sendirian.
**
Suatu hari dimalam yang sama seperti malam-malam sebelumnya, Marc mengatakan rencananya pada rembulan,
“Aku akan mencuri selendang itu di kuil terlarang”
“Jangan Marc, aku lebih baik memandangmu dari kejauhan daripada menatapmu mati dirundung petaka jahanam.” Kata rembulan mulai gelisah.
“Tenanglah kekasih, aku takkan apa-apa, esok malam, kau akan dapati aku sudah berada di sampingmu”
Esok malamnya saat semua orang sudah terbuai mimpi, La Marc penyair gelandangan, pemuda yang dirundung asmara, melakukan perbuatan paling berbahaya. Ia mencuri selendang bersulam emas. Ia tersenyum puas melihat yang ada di tangannya, selendang itu kemudian dipakainya. Dengan berlari ia menuju bukit tertinggi, tempat paling dekat dengan bulan.
“Kekasih! Lihatlah yang aku kenakan!” seru Marc kegirangan
“Astaga! Kau melakukannya, kau gila Marc!” kata bulan takut sekaligus senang.