"Mama mana? Kok kamu yang nganter sarapan?" Papa menembakku dengan pertanyaan telak.
"Mamaa... Mama kecelakaan semalam, pa. Waktu mau pulang dari tempat Om Dinan. Abis jemput oksigen buat papa." Aku tak berani menatap wajah papa.
Kami hening. Papa tak menjawabku dengan sepatah katapun.
"Pa, Re nggak mau papa jadi drop mikirin mama. Papa juga mesti cepat pulih biar kita bisa cepat jemput mama dari rumah sakit." Aku mencoba menyemangati papa.
Re, bisa video call sekarang? Mama uda sadar, nih.
Aku segera mengumpulkan Ve dan Junior bersama kami. Rindu sudah begitu menggunung. Ah, Re... kau sungguh hanya seorang anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Bagaimana bisa aku secengeng ini ketika jauh dari mama semalam saja sementara sejak kecil aku terbiasa jauh dari mama.Â
"Jangan nangis...." Lagi-lagi mama menguatkan kami dengan suaranya yang begitu lemah.
Luka mama ternyata serius. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Beberapa bekas jahitan terlihat jelas di pelipis mata, kening dan bagian rahangnya.
Air mataku tumpah. Aku bahkan hampir tak pernah ada di kondisi sulit mama. Mama terhubung ke patient monitor.
"Papa uda enakan napasnya?"
Ahhh konyolnya,,,