Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabung Oksigen untuk Papa, Bukti Cinta Mama yang Terakhir

16 Juli 2021   15:58 Diperbarui: 16 Juli 2021   17:23 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya pandemik mengembalikan kebersamaan keluarga kami. Aku yang sejak kecil terbiasa ditinggal mama untuk bekerja diluar kota, akhirnya sekarang punya begitu banyak waktu untuk berbagi apa pun dengan mama. Ternyata benar! Selalu ada hikmah di setiap kejadian.

"Jaman sekarang itu nggak baik sering-sering keluar rumah, apalagi kalo nggak penting."  Teguran keras mama untuk papa setiap kali papa pulang ke rumah.

"Iya sebentar. Masih capek, Ma." Bantah papa.

"Capek abis ngapain emangnya dari luar?"

Dan masalah itu hampir setiap hari jadi sumber pertengkaran di rumah kami. Dulu rumah kami sepi karena  mama hanya pulang dua sampai tiga minggu saja setiap tiga bulan. Sisanya mama habiskan di lokasi kerjanya.

"Ma, aku kok agak lemes ya hari ini."

"Mama temenin berobat ya, Pa. Kondisi lagi nggak bagus begini, imun nggak boleh dibiarin turun, Pa."

Aku percaya, sekalipun mama sering berjauhan dengan kami, nalurinya sebagai seorang istri dan ibu tak pernah mati. Mama punya intuisi yang kuat.

"Pa, mama temenin swab, yok. Makin cepet ketauan kan makin cepet diobatin."

"Mama kok gitu ngomongnya. Omongan itu doa loh."

"Pa, mama ini uda pernah ngerasain kena covid. Jadi sedikit banyaknya mama pasti tau. Papa nurut aja kenapa?"

Papaku memang lebih susah dibujuk ketimbang mama. Aku bahkan bisa melihat beberapa hal diantara mereka justru tertukar. Mamaku lebih berani dan mandiri ketimbang papa. Mama juga cenderung lebih tenang menyikapi sesuatu, tidak seperti papa yang emosional. Itu kenapa mama lebih bisa mencari jalan keluar dari setiap masalah ketimbang papa. Sejak kecil, aku begitu mengidolakan mamaku.

"Ma, temenin aku swab, yah."

Kalimat papa bikin aku kaget bukan main. Sudah lebih setahun bumi ini bergumul dengan pandemik, tapi bagiku hal itu tak juga membuatku terbiasa setiap kali mendengar ada orang  yang terpapar. Apalagi keluargaku. Aku panik, cemas, ketakutan. Berbeda dengan mama. Wajahnya tetap saja tenang. Tak ada kepanikan terpancar dari sana.

"Ayok, pa..." Ajak mama setelah selesai berganti pakaian.

"Ma, kabarin Re secepatnya ya." Aku memberangkatkan mereka.

Aku mengambil Rosarioku untuk berdoa sembari menghilangkan cemasku. Ingatanku kembali ke masa dimana mama berjuang melawan virus jahat ini. Tapi secemas apa pun kami waktu itu, mama selalu menguatkan kami. Aku sering malu pada mama. Di kondisi buruknya sekalipun, mama tetap menguatkan kami, jadi sandaran ternyaman untuk kami. Pelukan mama selalu yang terhangat, ternyaman dan paling menenangkan.

"Re, papa positif nih. Kita tracing ya. Kamu, Novena sama Junior. Nggak usa panik. Semua bakal baik-baik aja." Suara mama yang kudengar dari telepon seluler itu sangat tenang.

Aku membawa dua adikku ke laboratorium yang sama dengan papa. Langkahku sudah sangat gemetar. Lututku lemas, perutku mules, kaki dan tanganku dingin karena rasa takut.

"Ok... jadi hasilnya udah keluar. Dan mama uda telepon beberapa rumah sakit. Kalau kalian semua harus isomann di rumah sakit, keuangan kita nggak bakal cukup. Selain itu, beberapa temen dokter mama juga bilang semua rumah sakit penuh.  Jadi, mama rasa kalian isomann di rumah aja ya. Cuma mama yang hasilnya negatif."

Aku seperti tersambar petir. Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Aku dan adik-adikku bahkan terlihat sangat sehat. Hanya papa yang memang tak enak badan beberapa hari lalu.

"Yok pulang. Kita siapin semua di rumah." Kata-kata mama masih begitu penuh dengan semangat. Selalu penuh energi posotif.

Mama berjalan di depan kami. Seolah menjadi pemimpin barisan. Sementara aku, papa, Novena dan Junior mengikuti langkah mama dari belakang dengan jiwa yang kosong.

Kami masih sangat terkejut dengan hasil swab kami. Duduk terbodoh seperti kehilangan akal sehat, sementara mama menyiapkan keperluan kami untuk isomann di rumah.

"Re, kamu selama isoman tidur sama Ve dulu, ya. Papa sama Junior juga satu kamar. Biar kalian ada temen sekamar, jadi nggak bosen juga. Selain itu, bisa saling pantau juga kan." Mama meberikan instruksi.

Hari ke-5 isoman. Aku dan Ve kehilangan penciuman kami. Dan kondisi papa menurun. Napas papa semakin sesak. Junior secara mental justru semakin tidak baik karena harus melihat papa yang kesulitan bernapas. Mama akhirnya memindahkan Junior ke kamar Ve.

"Mama pergi sebentar ya. Ada temen yang bisa bantu pinjamin tabung oksigen buat papa. Mama janji nggak akan lama. Telepon Mama kalau ada apa-apa."

Melihat mama dari belakang aku sadar satu hal. Aku tak  lebih dari seorang anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Aku bahkan tak bisa melakukan apa pun tanpa  mama. Selama ini aku pikir aku tumbuh sangat mandiri. Ternyata aku salah!

Re, mama uda dapat tabung oksigen buat papa. Sebentar lagi mama pulang ya. Di sini hujan deras. 

Mamaku nyaris tak pernah gagal dalam segala hal. Aku baru ingat satu hal. Ketika mama berjuang melawan covid setahun yang lalu, tepat di awal pandemik masuk ke Negara ini, papa justru selingkuh di belakang mama. Entah kekuatan apa yang membuat mama sanggup melupakan sakit hatinya, tak membalas perlakuan papa. Mama justru berdiri paling depan untuk memperjuangkan papa. Mama yang sejak dulu menggantikan papa menjadi tulang punggung di keluarga kami. Mama sebenarnya punya banyak alasan untuk meninggalkan papa. Papaku hanya seorang photographer freelancer.  Mama bahkan tak pernah menuntut papa untuk memberikan nafkah untuk kami. Sepanjang mama bekerja diluar kota, mamalah yang selalu mentrasnfer biaya hidup kami mulai dari keperluan bulanan, uang listrik, air, uang sekolah dan biaya lainnya.

Aku memang selalu gagal memahami mama. Aku tak pernah tau darimana asal ketegaran hati mama. Bahkan ketika mama tau kenyataan bahwa papa selingkuh ketika mama berjuang untuk tetap hidup melawan covid-19 lalu. Papa tak hanya berselingkuh. Hubungan papa dengan selingkuhannya bahkan sudah terlalu jauh. Waktu itu mama juga menemukan bukti percakapan papa dengan teman-temannya yang memberikan papa pinjaman sejumlah uang untuk check in di hotel dengan selingkuhannya.

Setiap kali aku bertanya, jawaban mama hanya satu. Nanti kalau kalian yang meminta mama meninggalkan papa kalian, mama baru akan melakukannya. Kalau kalian nggak minta, ya ngapain mama ninggalin papa. 

"Permisi...." Aku melihat ada seseorang bermantel hujan berdiri di depan gerbang dengan tabung oksigen disampingnya.

"Re, ini ada titipan dari Bu Suci." Kata lelaki yang di seberang gerbang sana. Samar aku dengar, suaranya terbawa deras hujan.

"Oh iya, Pak. Tapi mama mana ya?" tanyaku karena tak melihat mama pulang.

"Mending panggil dulu nakes terdekat buat bantu pasang oksigennya, Re."

Lelaki itu benar. Papa perlu oksigen itu secepatnya. Tapi darimana dia tau namaku?

Aku menelepon tenaga medis yang siaga di depan pos bantuan. Tenang rasanya melihat papa bisa bernapas lebih lega.

"Pak, maaf bapak ini siapa ya?" tanyaku karena tak pernah mengenal lelaki itu sebelumnya.

"Saya dokter Dinan. Teman Suci sejak SMA. Dia minta tolong saya untuk antarkan tabung oksigen ini. Katanya papamu perlu."

"Ohh,, lalu mama mana Om?"  tanyaku cemas.

"Suci di rumah sakit, Re. Di ICU." Jawaban Om Dinan rasanya membuat seluruh tubuhku kaku.

"Suci kecelakaan tunggal waktu pulang dari tempat Om, Re. Om masih belum dapat update tetang perkembangan mama kamu. Tadi waktu Om ketemu mama kamu, dia cuma minta Om buat buru-buru ke sini. Gini aja Re, Om balik dulu ke rumah sakit. Entar dari sana kita video call-an, yah. " Sambung Om Dinan.

Aku kehilangan cara untuk menyampaikan kabar ini pada papa dan adik-adikku. Aku takut kondisi papa semakin menurun. Tapi mereka juga berhak tau.

"Ve, Ve sayang mama?" tanyaku pada adikku yang sangat mencintai hujan itu. Dia selalu duduk di tepi jendela ketika hujan turun. Katanya hujan selalu turun bersama peri-peri baik. Sulit memang memahami pribadi introver seperti dia.

"Dengan semua jiwa raga Ve, Mbak." Jawabnya singkat.

"Nah, sekarang mbak mau Ve ambil Rosario. Kita ke kamar Junior, yah."

Ve tak melawan. Dia memang bukan anak pemberontak sejak kecil. Tapi tak sepenuhnya penurut.

"Ju, Ju sayang mama?" tanyaku pada satu-satunya saudara lelakiku itu.

"Apa sih, Mbak. Garing tau" Sahut Junior ketus.

"Ditanya sama yang lebih tua itu jawabnya yang sopan." Ve menyambar secepat kilat.

"Kita doa Rosario yok. Buat Mama." Air mataku rasanya tak mampu lagi kubendung.

"Mama lagi di ICU. Kecelakaan tunggal waktu pulang dari tempat Om Dinan tadi." Aku beranikan diri menyampaikan kabar itu pada mereka dengan suara yang gemetar.

Ju tak lagi membantahku dengan ketus. Dia langsung memimpin doa Rosario kami di tengah hujan deras yang tak kunjung reda. Kami masih belum menemukan cara untuk menyampaikan hal ini pada papa.

Salam Putri Allah Bapa, 

Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu

Terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus

Santa Maria Bunda Allah,

Doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati.

Amin

Butir demi butir Rosario kami gulirkan. Berharap doa kami bisa menembus langit dan sampai kepada Tuhan. Sampai di butir terakhir, Om Dinan belum juga memenuhi janjinya untuk mengabari kami lewat video call.

Tak sabar menunggu Om Dinan, aku mencoba menelepon mama ke telepon seluler milik mama. Berkali aku coba tapi tak ada respons. Hatiku semakin kacau. Pikiranku semakin tak karuan. Air mataku tumpah ruah sama derasnya dengan hujan malam ini.

Re, mama kamu masih belum sadar. Om masih di sini kok jagain mama kamu. Jangan takut, ya. 

Pesan singkat yang aku terima dari Om Dinan tak juga membuatku tenang. Mataku tak kunjung mengantuk.

Sambil mengantar sarapan untuk papa, aku beranikan diri menyampaikan kabar tentang kecelakaan mama. Kulatih diriku merangkai kalimat demi kalimat semalam suntuk agar bisa diterima papa selembut mungkin.

"Pa, gimana kondisi papa pagi ini?" Aku mencoba membuka percakapan.

"Mama mana? Kok kamu yang nganter sarapan?" Papa menembakku dengan pertanyaan telak.

"Mamaa... Mama kecelakaan semalam, pa. Waktu mau pulang dari tempat Om Dinan. Abis jemput oksigen buat papa." Aku tak berani menatap wajah papa.

Kami hening. Papa tak menjawabku dengan sepatah katapun.

"Pa, Re nggak mau papa jadi drop mikirin mama. Papa juga mesti cepat pulih biar kita bisa cepat jemput mama dari rumah sakit." Aku mencoba menyemangati papa.

Re, bisa video call sekarang? Mama uda sadar, nih.

Aku segera mengumpulkan Ve dan Junior bersama kami. Rindu sudah begitu menggunung. Ah, Re... kau sungguh hanya seorang anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Bagaimana bisa aku secengeng ini ketika jauh dari mama semalam saja sementara sejak kecil aku terbiasa jauh dari mama. 

"Jangan nangis...." Lagi-lagi mama menguatkan kami dengan suaranya yang begitu lemah.

Luka mama ternyata serius. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Beberapa bekas jahitan terlihat jelas di pelipis mata, kening dan bagian rahangnya.

Air mataku tumpah. Aku bahkan hampir tak pernah ada di kondisi sulit mama. Mama terhubung ke patient monitor.

"Papa uda enakan napasnya?"

Ahhh konyolnya,,,

Mama masih begitu memperhatikan papa dikondisi kritisnya.

"Kalau oksigen papa habis, telepon Om Dinan ya biar diisi ulang. Mama nggak bisa cari tabung besar buat papa. Yang ada cuma itu."

Aku memang selalu gagal memahami hati seluas hati mama. Rasanya hatiku terlalu sempit untuk memahami luasnya hati mama.

"Om, mama kok tidur Om. Mama kok nggak respons, Om? Ommm....."

Mama tersenyum. Manis sekali. Seolah dia tidak sedang kesakitan.

"Mas Ayub, ikhlas ya Mas. Kalian yang tabah, ya." Om Dinan seolah menegaskan kalau mama bukan sedang tertidur.

Pembicaraan lalu bergulir ke arah pemakaman mama. Papa menyerahkan upacara pemakaman mama ke Tante Anya, adik kandung mama. Sementara kami hanya bisa menyaksikan secara virtual. Aku tak bisa mencium mama di hari perpisahan kami. Aku kehilangan idolaku. Aku dan adik-adikku masih larut dalam pelukan penuh air mata. 

Sebelum mama berangkat, mama janji mama nggak akan lama. Kami juga bahkan belum bilang kalau mama boleh ninggalin papa sekarang. Lalu kenapa mama pergi? Mama bilang mama hanya akan ninggalin papa kalau kami yang minta kan? Lalu kenapa mama pergi?

pernahkah kalian bertemu malaikat seperti mamaku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun