Mama masih begitu memperhatikan papa dikondisi kritisnya.
"Kalau oksigen papa habis, telepon Om Dinan ya biar diisi ulang. Mama nggak bisa cari tabung besar buat papa. Yang ada cuma itu."
Aku memang selalu gagal memahami hati seluas hati mama. Rasanya hatiku terlalu sempit untuk memahami luasnya hati mama.
"Om, mama kok tidur Om. Mama kok nggak respons, Om? Ommm....."
Mama tersenyum. Manis sekali. Seolah dia tidak sedang kesakitan.
"Mas Ayub, ikhlas ya Mas. Kalian yang tabah, ya." Om Dinan seolah menegaskan kalau mama bukan sedang tertidur.
Pembicaraan lalu bergulir ke arah pemakaman mama. Papa menyerahkan upacara pemakaman mama ke Tante Anya, adik kandung mama. Sementara kami hanya bisa menyaksikan secara virtual. Aku tak bisa mencium mama di hari perpisahan kami. Aku kehilangan idolaku. Aku dan adik-adikku masih larut dalam pelukan penuh air mata.Â
Sebelum mama berangkat, mama janji mama nggak akan lama. Kami juga bahkan belum bilang kalau mama boleh ninggalin papa sekarang. Lalu kenapa mama pergi? Mama bilang mama hanya akan ninggalin papa kalau kami yang minta kan? Lalu kenapa mama pergi?
pernahkah kalian bertemu malaikat seperti mamaku?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI