"Tak pernah terlalu malam untuk secangkir kopi dan buku, Ma." Harika terus berlalu.
Tidak banyak hal yang berubah pada Harika. Sejak dulu dia memang bukan anak yang periang. Harika hanya seorang anak biasa, pendiam, dan tak mudah bergaul. Sehar-hari dia biasa menghabiskan waktunya hanya untuk belajar dan selebihnya membaca buku apa saja di kamar. Harika tak memiliki saudara kandung, hanya Ayah dan Ibunya yang selalu jadi sahabatnya ke mana pun dia pergi.
Hai Keajaiban,
Entah sudah berapa tahun kita lulus dari sekolah ini. Dan hampir di setiap acara reuni, kamu tak pernah hadir. Tapi Pak Har bilang, kamu masih rutin datang ke perpustakaan ini. Itu kenapa aku titipkan surat ini untukmu. Walau pun aku bisa saja menelepon atau mengirimkan whatsapp padamu, tapi aku yakin cara ini lebih berkenan untukmu.
Hai Keajaiban,
Sudah sejak lahir orang tuamu menamaimu seperti itu. Maka tetaplah menjadi seperti itu. Setiap apa pun yang terjadi, bukankah keajaiban? Romo Bono bilang, dia bahkan masih bisa ingat jelas setiap momentum ketimbang yang lain. Kapan kau di Baptis, Ekaristi pertamamu, dan apa pun tentangmu. Tidakkah kau merasa begitu ajaibnya dirimu?
Hai Keajaiban,
Sekali saja, bolehkah aku merawat keajaiban itu dengan caraku? Setelah itu, kau bebas memilih jawabanmu.
Atlanta
Apa kabar anak itu? Harika tak menyadari pertanyaan yang baru keluar dari mulutnya.
Sepanjang malam Harika tak bisa tidur. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ingatan Harika kembali pada kejadian itu. Ketika dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Ayahnya tewas terbunuh. Bukan baru sekali Harika meminta Ibunya untuk pindah  rumah. Tapi Ibunya selalu menolak. Ketika di Ibu Kota, Harika selalu ditemani Asih. Sahabat yang tidur sekamar dengannya. Tapi setiap kali dia sendiri di rumah itu, rasa takut kembali menyesakkan dadanya. Bau amis darah seperti masih tercium tajam di penciumannya. Dia masih bisa mengingat semua.