"Apa yang sudah kau lakukan sampai mengecewakan Tuhanmu?"
"Harika malu, Romo. Harika masih belum bisa ikhlas sepenuhnya. Harika bahkan masih berproses untuk itu setelah sekian tahun kehilangan."
"Anakku, kematian itu adalah pasti. Dan tak ada yang bisa menawar ketentuan Tuhan. Apa yang harus kau sedihkan bahkan ketika Papamu sudah sangat bahagia dengan DIA di surga."
"Romo benar. Itulah kenapa Harika selalu rindu Gereja ini. Karna tempat ini selalu menawarkan damai dan ketenangan."
Gereja itu memang begitu penuh kenangan bagi Harika. Ayah Harika dulunya adalah seorang yang aktif di kegiatan-kegiatan Gereja dan kemanusiaan. Seluruh pengurus Gereja dan hampir semua jemaat di sana mengenal baik ayah Harika. Kepergiaan Ayah Harika adalah duka bagi banyak orang yang mengenalnya. Bukan hanya bagi Harika.
"Berapa buku yang kamu bawa pulang, Nak?"
"Hanya satu, Ma."
"Tumben. Biasanya kamu bawa banyak sekali buku kalau habis dari perpustakaan."
Pertanyaan Ibunya mengingatkan Harika pada amplop putih yang diberikan Pak Har.
"Ma, Harika ke kamar dulu, ya." Harika berjalan meninggalkan Ibunya sambil membawa secangkir kopi panas hasil seduhannya sendiri.
"Sudah terlalu malam untuk secangkir kopi, Nak."