Dan Harika masih sibuk dengan rak-rak buku yang memajang jejeran buku-buku entah terbitan kapan. Jari-jarinya berjalan seiringan dengan arah pandang matanya. Bukan untuk mencari buku tertentu, dia hanya mencari buku yang dipilih nuraninya untuk dibaca. Suasana perpustakaan jaman sekarang ini memang tidaklah bisa disamakan dengan jaman sekolahnya dulu. Masyarakat sekarang jelas lebih senang membaca Ebook yang tak harus memenuhi tas mereka.
Perpustakaan itu masih seperti dulu. Dengan Pak Har sebagai admin di perpustakaan itu. Sudah sejak Harika masih bersekolah di sana, perpustakaan sekolahnya itu terdaftar sebagai perpustakaan umum di pinggiran kota Sumatera Utara. Banyak masyarakat umum atau mahasiswa yang berkunjung ke sana.
"Harika, kapan kau pulang, Nak?" Sapaan hangat Pak Har membuat Harika tersenyum.
"Baru tiga hari yang lalu, Pak. Harika bawakan ini untuk Bapak." Harika menyodorkan bungkusan kecil berisi blankon dan wayang kulit yang dia beli waktu berkunjung ke Jogja.
"Kau masih saja ingat, Bapak." Sambut haru Pak Har.
"Sama seperti Bapak yang masih ingat Harika."
Tak banyak orang-orang yang masih bertahan dengan hal-hal konservatif seperti buku. Berkembangnya zaman, jelas membawa pergeseran kebiasaan. Pak Har dan Harika, mungkin mereka hanya sebagian kecil dari mereka yang masih setia dengan buku, bukan media baca lain.
"Ada titipan untukmu, Nak." Pak Har memberikan amplop putih pada Harika sebelum dia pulang.
Tak ada nama atau tulisan apa pun di amplop itu. Tanpa rasa ingin tahu yang dalam, Harika menyelipkan amplop itu ke dalam buku yang baru dipinjamnya. Tak ada yang berubah. Juga kebiasaannya setiap kali pulang ke kota itu.
"Harika, apa yang baru saja kau ceritakan pada Tuhanmu?" Suara Romo Bono memecah keheningan Gereja kecil itu.
"Hanya menyampaikan rinduku padaNYA, Romo. Dan permohonan maafku karena sudah mengecewakanNYA." Harika bangkit dari sujudnya. Dia duduk di kursi, tepat di depan Altar bersama Romo kesayangannya itu.
"Apa yang sudah kau lakukan sampai mengecewakan Tuhanmu?"
"Harika malu, Romo. Harika masih belum bisa ikhlas sepenuhnya. Harika bahkan masih berproses untuk itu setelah sekian tahun kehilangan."
"Anakku, kematian itu adalah pasti. Dan tak ada yang bisa menawar ketentuan Tuhan. Apa yang harus kau sedihkan bahkan ketika Papamu sudah sangat bahagia dengan DIA di surga."
"Romo benar. Itulah kenapa Harika selalu rindu Gereja ini. Karna tempat ini selalu menawarkan damai dan ketenangan."
Gereja itu memang begitu penuh kenangan bagi Harika. Ayah Harika dulunya adalah seorang yang aktif di kegiatan-kegiatan Gereja dan kemanusiaan. Seluruh pengurus Gereja dan hampir semua jemaat di sana mengenal baik ayah Harika. Kepergiaan Ayah Harika adalah duka bagi banyak orang yang mengenalnya. Bukan hanya bagi Harika.
"Berapa buku yang kamu bawa pulang, Nak?"
"Hanya satu, Ma."
"Tumben. Biasanya kamu bawa banyak sekali buku kalau habis dari perpustakaan."
Pertanyaan Ibunya mengingatkan Harika pada amplop putih yang diberikan Pak Har.
"Ma, Harika ke kamar dulu, ya." Harika berjalan meninggalkan Ibunya sambil membawa secangkir kopi panas hasil seduhannya sendiri.
"Sudah terlalu malam untuk secangkir kopi, Nak."
"Tak pernah terlalu malam untuk secangkir kopi dan buku, Ma." Harika terus berlalu.
Tidak banyak hal yang berubah pada Harika. Sejak dulu dia memang bukan anak yang periang. Harika hanya seorang anak biasa, pendiam, dan tak mudah bergaul. Sehar-hari dia biasa menghabiskan waktunya hanya untuk belajar dan selebihnya membaca buku apa saja di kamar. Harika tak memiliki saudara kandung, hanya Ayah dan Ibunya yang selalu jadi sahabatnya ke mana pun dia pergi.
Hai Keajaiban,
Entah sudah berapa tahun kita lulus dari sekolah ini. Dan hampir di setiap acara reuni, kamu tak pernah hadir. Tapi Pak Har bilang, kamu masih rutin datang ke perpustakaan ini. Itu kenapa aku titipkan surat ini untukmu. Walau pun aku bisa saja menelepon atau mengirimkan whatsapp padamu, tapi aku yakin cara ini lebih berkenan untukmu.
Hai Keajaiban,
Sudah sejak lahir orang tuamu menamaimu seperti itu. Maka tetaplah menjadi seperti itu. Setiap apa pun yang terjadi, bukankah keajaiban? Romo Bono bilang, dia bahkan masih bisa ingat jelas setiap momentum ketimbang yang lain. Kapan kau di Baptis, Ekaristi pertamamu, dan apa pun tentangmu. Tidakkah kau merasa begitu ajaibnya dirimu?
Hai Keajaiban,
Sekali saja, bolehkah aku merawat keajaiban itu dengan caraku? Setelah itu, kau bebas memilih jawabanmu.
Atlanta
Apa kabar anak itu? Harika tak menyadari pertanyaan yang baru keluar dari mulutnya.
Sepanjang malam Harika tak bisa tidur. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ingatan Harika kembali pada kejadian itu. Ketika dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Ayahnya tewas terbunuh. Bukan baru sekali Harika meminta Ibunya untuk pindah  rumah. Tapi Ibunya selalu menolak. Ketika di Ibu Kota, Harika selalu ditemani Asih. Sahabat yang tidur sekamar dengannya. Tapi setiap kali dia sendiri di rumah itu, rasa takut kembali menyesakkan dadanya. Bau amis darah seperti masih tercium tajam di penciumannya. Dia masih bisa mengingat semua.
"Ta, ini aku. Harika. Aku sudah terima suratmu. Aku mau ketemu, Ta." Harika memberanikan diri untuk menelepon Atlanta.
"Aku yang harus pulang ke Siantar, atau kita ketemu di Jakarta?"
"Kita ketemu di Jakarta aja, Ta. Minggu depan aku sudah kembali."
Masa remaja Harisa dan Atlanta memang tak bisa dipisahkan. Atlanta boleh dibilang anak yang popular di sekolah. Dia aktif sebagai anggota team basket. Sedang Harika dulunya adalah anggota Paskibra dan aktif juga sebagai anggota OSIS. Sama-sama popular, hanya berbeda karakter.
"Hai." Sapa Harika kaku ketika tiba di ruangan kerja Atlanta.
Lama tak saling berkomunikasi, Harika tak pernah tahu kalau Atlanta sekarang adalah seorang Psikolog.
"Tenanglah. Bukankah aku ini masih temanmu juga. Kenapa harus kaku?" Sambut Atlanta sambil menyodorkan kopi hitam untuk Harika.
"Ada apa menulis surat untukku?" Nampaknya Harika masih belum bisa nyaman dengan pertemuannya dengan Atlanta kali ini.
"Agar ada yang kau baca. Agar kau tak berhenti membaca."
"Ta, aku tak pernah tahu kalau kau sekarang adalah seorang Psikolog."
"Apa kau pernah cari tahu tentangku? Bertanya pada teman-teman lain tentang aku? Padahal sekarang kita sama-sama bekerja di Ibu Kota, Ka."
Benar Harika tak pernah lagi mencari tahu apa pun tentang Atlanta. Sejak acara perpisahan sekolah waktu itu, Harika membiarkan hatinya pedih sampai sekarang. Waktu Atlanta membiarkan Harika kehujanan dan memilih mengantar Anggi pulang.
"Bisakah serius sedikit, Ta!"
"Aku mau kamu sembuh. Dari luka batinmu karena kehilangan Om."
Harika tersentak. Entah sedalam apa Atlanta mencari tahu tentang hidupnya sampai masalah itu pun Atlanta tahu.
"Ka, aku mau kamu sembuh. Bisakah sekali saja kamu biarkan aku menolongmu?"
"Entahlah, Ta. Aku masih sulit percaya pada siapa pun. Papaku bahkan mati terbunuh karena sahabatnya sendiri."
"Ta, seminar yang di Surabaya di tunda ya....."
Harika makin tersentak dengan kehadiran Anggi yang tiba-tiba ke dalam ruang kerja Atlanta. Begitu banyak kejutan yang dia dapatkan hari ini.
"Maaf. Aku ndak tahu kalau ada kamu, Ka."
"Ndak apa. Aku sudah selesai dengan Atlanta. Aku permisi."
Atlanta bergegas mengejar langkah Harika. Sekarang dia tahu apa yang membuat Harika menghindarinya selama bertahun-tahun.
"Ka.... Tunggu!" Kejar Atlanta.
Harika tak bergeming. Dia malah mempercepat langkahnya. Pantas saja dulu dia menjadi anggota Paskibra. Langkahnya begitu panjang. Batin Atlanta.
"Kamu cemburu? Kenapa tak pernah bilang?"
Harika hanya diam. Sekarang dia terlanjur ada di dalam lift berdua dengan Atlanta. Hanya berdua.
"Aku yakin kamu dengar apa yang barusan aku ucapkan. Aku tak perlu mengulang, bukan?"
"Maksudmu?" Harika balik bertanya.
"Kamu cemburu pada Anggi? Dia sepupuku. Anak Tanteku. Mamanya dan Mamaku bersaudara kandung." Atlanta menjelaskan.
"Kamu tak perlu jelaskan apa pun. Siapa Anggi itu tak penting untukku."
"Kamu cemburu sama sepupuku? Bahkan ketika aku sudah menjaga hatiku untukmu sejak kita masih sekolah?"
Harika hening. Dadanya sesak, seperti ada ombak beradu di dalamnya. Seperti inikah cinta? Kenapa setelah sekian tahun Atlanta baru berani berkata jujur?
"Keajaiban, kamu mau aku antar pulang atau kita masih bisa ngobrol sebentar di coffee shop seberang gedung?"
"Aku mau pulang." Harika memilih. Dan Atlanta tak memaksa. Sejak dulu dia tak pernah ingin memaksa Harika.
Debur ombak di hati Harika tak  kunjung mereda. Bahkan semakin kencang. Tak pernah ada yang bisa menciptakan debur ombak itu di hati Harika. Kata-kata Atlanta masih terus terdengar berulang-ulang di telinganya.
Cold and frosty morning there's not a lot to sayAbout the things caught in my mindAnd as the day was dawningMy plane flew awayWith all the things caught in my mindI don't wanna be there when you're coming downI don't wanna be there when you hit the groundSo don't go away say what you saySay that you'll stay forever and a dayIn the time of my life 'cause I need more timeYes, I need more timeJust to make things right
Tak ada percakapan lagi sejak mereka berdua keluar dari lift. Hanya Don't Go Away milik Oasis yang manis menemani mereka di perjalanan. Gerimis diawal perjalanan mereka berubah menjadi hujan deras yang mengguyur Ibu Kota.
"Aku tunggu kamu besok. Kita mulai terapi kamu ya." Pesan Atlanta sebelum Harika masuk ke dalam kostnya.
"Kamu tak perlu mengantarku turun sampai basah begini. Mau minum teh sebentar?"
"Kamu sedang menahanku supaya tak pergi?"Â
Harika mendadak merasa wajahnya memanas. Dia bisa membayangkan betapa merah wajahnya itu sekarang.
"Aku tak mau mengganggu waktumu malam ini, Ka. Karena besok terapimu akan lumayan melehakan. Cepatlah istirahat."
Harika mendadak seperti tak mengenali dirinya. Dia tak punya alasan kenapa harus menurut pada Atlanta. Tapi entah kenapa dia pun tak bisa menolak. Hari ini banyak sekali kejutan-kejutan yang dialaminya. Tiga tahun ada di lingkungan satu sekolah dengan Atlanta dan Anggi, Harika bahkan tak pernah tahu kalau mereka saudara sepupu. Dan yang tak kalah mengejutkan, Atlanta menjelma menjadi seorang Psikolog. Â Yang Harika tahu, sejak dulu Atlanta bercita-cita menjadi seorang pengacara.
Sejak pertemuan mereka kembali, hubungan yang bertahun-tahun buruk kini mulai membaik. Konsultasi demi konsultasi, terapi demi terapi membuat Atlanta paham benar luka batin dan trauma Harika karena kejadian pembunuhan itu. Hubungan mereka semakin membaik. Hanya Harika yang masih belum memberi kepastian jawaban dari penantian Atlanta selama ini.
"Kenapa akhirnya kamu memilih menjadi Psikolog? Bukannya sejak dulu kamu bercita-cita menjadi seorang pengacara?"
"Kalau aku sekarang menjadi seorang pengacara, apa mungkin aku menyembuhkan luka batinmu, Keajaiban?"
"Karena aku?"
"Iya, karena kamu." Jawab Atlanta sambil menatap Harika dalam-dalam.
"Keajaiban, satu hal lagi yang aku mau kamu tahu. Tante pasti sangat menyayangimu. Lukanya kehilangan seorang suami, penyeimbang hidupnya, bahkan lebih dalam dari luka batinmu. Dia bahkan semakin terluka melihat kondisimu."
"Lalu kenapa Mama minta aku memaafkan Om Tyo?"
"Saranku, kalau nanti kamu pulang, cobalah bertanya langsung pada Tante. Beri dia kesempatan untuk menjelaskan apa yang dia pikirkan."
Atlanta benar. Aku bahkan nyaris menutup diriku pada Mama sejak kematian Papa. Setiap kali aku pulang, aku hanya sibuk dengan diriku. Aku bahkan nyaris kehilangan rasa hormatku pada Mama.
"Sudah ketemu Romo, Nak?" Sambut Nurli ketika Harika baru tiba di rumah.
"Belum, Ma. Harika sengaja langsung ke rumah."
"Kamu sakit?" Tanya Nurli cemas.
"Ma, Harika mau Tanya sesuatu. Bolehkah?"
Nurli mendadak tegang. Sudah begitu lama anak gadisnya itu menjaga jarak dengannya. Sekarang kenapa hanya untuk bertanya saja dia harus meminta ijin.
"Ma, boleh Harika tahu alasannya kenapa Mama minta Harika untuk memaafkan Om Tyo? Orang yang sudah bikin kita kehilangan Papa."
Nurli lega akhirnya Harika menanyakan hal itu. Walau butuh waktu bertahun-tahun dan proses yang cukup lama.
"Lalu apa kamu punya saran bagaimana kita sebaiknya?" Pertanyaan Nurli membuat Harika beku. Harika tak punya jawaban apa pun atas pertanyaan Ibunya.
"Setidaknya bukan memaafkan, Ma." Nada bicara Harika meninggi.
"Lalu apa mungkin untuk melupakan?"
Harika benci untuk benar-benar mengakui kalau pertanyaan Ibunya kali ini benar. Ingatan itu akan tetap menempel di kepala. Seumur hidup mereka.
"Nak, tahukah kamu kenapa kami menamimu Harika?"
"Yang aku tau hanya Harika berarti keajaiban."
"Benar. Karena semua tentangmu adalah keajaiban bagi kami orang tuamu. Juga tentang hatimu. Hati yang penuh keajaiban. Membalas perbuatan Om Tyo tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah. Ikhlaskan, Nak. Belajar dan berproseslah. Papa tak pernah mengajarimu untuk dendam, bukan? Kami menamaimu Harika, supaya hatimu dipenuhi keajaiban. Tak menyisakan ruang untuk kebencian. Romo Bono bilang, kamu tak ingin mengecewakan Tuhanmu. Tak ada sehelai rambut pun yang jatuh tanpa ijin Tuhan. Termasuk apa yang kita alami sekarang. Apa yang kita alami sekarang bahkan sudah digariskan Tuhan sejak kita masih di dalam kandungan. Termasuk apa yang dialami Papa. Mama lebih tak ingin semakin menderita karena melihat anak Mama hatinya dipenuhi kebencian."
Harika terdiam. Air mata mulai turun membasahi pipinya. Sekarang dia paham kenapa dulu Ayahnya memilih Ibunya untuk menjadi pendamping hidup. Hatinya bersih. Tetap bersih bahkan ketika seseorang yang sangat dia cintai dirampas dari hidupnya.
"Ma, apa Mama tak pernah merindukan Papa?"
"Merindukan orang yang tak pernah meninggalkan kita? Setiap kali Mama melihat kamu, Mama melihat Papa ada di dalam dirimu, Nak."
Warisi aku sedikit saja kebesaran hatimu, Ma. Ajari aku untuk menjadi sekuat dirimu. Ilmu ikhlasmu rasanya tak mungkin dimiliki seorang manusia. Hanya malaikat yang bisa memiliki hati sepertimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H