Mohon tunggu...
Septi Rusdiyana
Septi Rusdiyana Mohon Tunggu... -

.......tak ada rasa yang abadi......ketika mulai lelah dengan segala perubahan, bukalah album dan cerita lawasmu.......ia akan menghiburmu.......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tak Termiliki

22 Agustus 2017   15:39 Diperbarui: 22 Agustus 2017   16:44 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tapi aku masih terjaga. Berulang kali mengganti posisi tidur, tetap saja rasa kantuk tidak juga datang. Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Dingin segera merambat saat kakiku menyentuh lantai. Aku berjalan menuju balkon. Ada satu meja dan dua kursi kecil dari kayu jati dengan ukiran khas Jepara. Aku duduk di atas salah satunya. Sepi. Nampaknya semua orang sudah terlelap. Sesekali hanya terdengar sayup suara-suara binatang malam. Aku meluruskan kedua kaki dan meletakkannya di atas meja. Seirama dengan hembusan angin yang semakin menggigit tulang, pikiranku berkelana.

"Pagi, Sayang....." Dans memelukku dari belakang. Kedua tangannya menggelayut manja di pinggangku. Aku dapat merasakan nafasnya saat ia mulai mencium leherku.

"Sudah selesai mandi?" tanyaku basa-basi.

Dans tidak menjawab. Ia masih terus menciumku. Lembut. Sangat lembut. Aroma tembakau segera tercium olehku. Dans memang seorang perokok berat. Sudah sering aku memintanya berhenti, tapi tetap saja selalu ia tanggapi dengan berkata, "Kalau kita sudah menikah, lalu kau hamil, baru aku berhenti merokok untuk biaya anak kita nanti."Aku pun akhirnya menyerah. Kadang aku hanya diam mendengarnya. Berpura-pura marah. Aku memang tidak pernah bisa marah padanya. Bagiku, Dans adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal.

Aku membalikkan tubuhku ke arah Dans. Kulingkarkan kedua tanganku di bahunya. Ia tersenyum. Menatapku hangat. Dans mendekatkan tubuhnya dan memelukku erat. Ia mencium keningku. Pipiku. Hidungku. Dan... aah ia mulai menyentuh bibirku. Aku dapat merasakan bibirnya yang basah. Seketika mataku terpejam. Kubiarkan Dans mencari-cari lidahku di antara celah bibir yang terbuka. Ia mengulumnya sedemikian rupa hingga membuatku ketagihan. Semua berlangsung pelan. Tidak terburu-buru. Terus. Dan terus.

"Kriiiiiiiiiiiiiiiing!!"

Dering suara telepon mengagetkan kami. Segera aku melepaskan diri darinya. Beranjak menuju meja telepon.

"Halo," aku mengangkat telepon.

"Halo. Selamat pagi. Bisa bicara dengan Keyla?" balas suara di seberang.

"Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya Bantu?"

"Oh, akhirnya aku bisa menemukanmu," nada suara orang di seberang berubah ceria. "Aku Faiz. Kamu masih ingat kan?" lanjutnya.

"Iya. Tentu aku tidak lupa," jawabku datar.

"Key, bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu."

"Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon?"

"Tidak bisa, Key. Kita harus bertemu."

Aku diam sejenak.

"Baik. Kita bertemu di C&C Lounge and Coffe jam lima sore. Bagaimana?" aku mencoba memberi penawaran.

"Baik. Aku tunggu disana."

"Sampai ketemu nanti."

"Terima kasih, Key."

Klik. Telepon terputus.

"Dari siapa?" Dans bertanya. Rupanya sejak tadi ia memperhatikanku. Ia duduk di sofa tempat biasa kami menonton televisi. Aku menghampirinya.

"Faiz. Teman lama," jawabku singkat. Aku duduk tepat di sampingnya. Dans mulai menyalakan korek api untuk membakar rokok di bibirnya.

"Dans?" panggilku. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi aku sudah terbiasa cukup hanya memanggil namanya. Dan sepertinya, Dans tidak keberatan.

Ia mematikan korek api. Menghembuskan asap ke udara. Lalu memalingkan wajahnya ke arahku. "Iya."

"Nanti sore Faiz mengajakku bertemu. Kau temani aku, ya?"

"Urusan apa?" tanya Dans.

"Mmm... aku tidak tahu. Dia hanya bilang kalau ada yang ingin dibicarakannya denganku. Ikut, ya?" aku merayu.

"Mungkin urusan penting. Lebih baik kamu menemuinya sendiri. Kalau aku ikut, bisa jadi suasananya malah tidak enak."

Aku menatapnya curiga.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu," tanyanya heran.

"Kau tidak cemburu?" selidikku.

"Hahaha. Kau ini, ada-ada saja," ia tertawa mendengar ucapanku barusan. Melihat raut wajahku yang tiba-tiba berubah, segera ia hentikan tawanya.

"Sayang, cemburu itu tidak harus diungkapkan. Siapa bilang aku tidak cemburu melihat wanita yang aku sayangi berduaan dengan lelaki lain? Siapa bilang aku tidak kesepian saat wanita yang aku sayangi pergi menemui lelaki lain dan meninggalkan aku sendirian di rumah? Pastilah aku cemburu. Tapi, sayang itu membuat orang menjadi baik. Bukan sayang kalau selalu membatasi. Bukan sayang kalau selalu berpikiran negatif. Aku mengizinkanmu menemui temanmu itu bukan karena aku tidak mau menemani kamu. Tapi terlebih kepada menghargai kamu. Bagaimanapun, kamu tetap seorang pribadi yang memiliki urusan pribadi. Aku percaya sama kamu. Harapanku, kamu bisa menjaga kepercayaanku itu," ulas Dans panjang. Ia menggenggam tangan kananku. Meremasnya. Lalu mencium lembut punggung tanganku.

Melihat tingkahnya itu, aku tidak terlalu banyak bereaksi. Tetapi jauh di dalam hatiku, tersimpan rasa haru yang luar biasa.

"Dans, aku sangat menyayangimu," ucapku dalam hati.

*

"Kau cantik sore ini, Key," Faiz memulai pembicaraan dengan sebuah pujian untukku. Sekilas aku memperhatikan dirinya. Celana panjang dipadu kemeja lengan pendek warna orange bergaris putih yang ia kenakan membuatnya tampak rapi. Rambut gondrong yang dulu menjadi andalannya, kini sudah dipotong. Mungkin hanya tersisa dua sampai tiga centimeter. Secara keseluruhan, aku lebih suka penampilannya yang sekarang. Bersih. Tampan. Cukup mengesankan.

Aku duduk menghadap Faiz.

"Mau pesan apa, Key?" tanya Faiz begitu menerima daftar menu dari pelayan cafe.

"Coffe latte," jawabku.

"Ada yang lain?"

"Itu saja. Aku tidak lapar."

"Coffe latte satu, cappuccino satu," kata Faiz kepada pelayan yang berdiri di sampingnya. Ia menyerahkan kembali daftar menu kepada pelayan itu.

"Kegiatanmu sekarang apa, Key?" Faiz mencoba membuka pembicaraan lagi. Basa-basi tentunya.

"Kuliah," jawabku pendek.

"Ambil jurusan apa?"

"Teknik Sipil."

"Oh, ya?" Faiz mengernyitkan dahinya. "Seingatku, dulu kamu ingin menjadi seorang penulis. Kamu juga bilang kalau saat kuliah nanti akan mengambil jurusan Sastra. Kenapa kamu bisa tiba-tiba berubah pikiran?"

"Setiap orang ada kemungkinan untuk berubah, bukan? Seperti kamu. Penampilanmu sekarang jauh berbeda dengan tiga tahun lalu."

Pelayan itu datang lagi mengantarkan pesanan. "Selamat menikmati," ucapnya mempersilakan.

"Terima kasih," Faiz dan aku menjawab hampir bersamaan. Kemudian pelayan itu berlalu meninggalkan meja kami.

"Tidak ada salahnya juga mencoba penampilan baru. Bagaimana menurutmu?" Faiz melanjutkan obrolan yang sempat terputus.

"Perfect!" jawabku agak bersemangat.

"Kamu suka, Key?"

"Tentu."

Faiz tersenyum bangga.

"Mmm... sebenarnya, aku ingin bilang sesuatu sama kamu, Key" nadanya berubah serius.

"Apa itu?" tanyaku penasaran.

Faiz tidak langsung menjawab. Ia menyeruput cappucinonya. Sejenak mengambil jeda. Seolah menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. "Aku ingin menjalin hubungan lagi dengan kamu," ucapnya beberapa detik kemudian.

"Apa aku tidak salah dengar, Iz?" aku sedikit kaget dengan apa yang baru saja diucapkannya.

"Tidak, Key. Aku serius," Faiz menegaskan.

Sunyi. Tidak ada suara. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat. Kamu juga pasti sulit menerimanya. Aku sadar kalau keputusanku waktu itu sangat menyakiti hatimu. Tapi sungguh, Key. Selama tiga tahun ini aku tidak berusaha mencari wanita lain. Aku terus memikirkanmu. Terus merindukanmu. Dan sekarang, saat aku dipindahtugaskan di Jogja, aku ingin kita bisa kembali lagi seperti dulu," jelas Faiz.

"Kenapa harus begitu?"

"Karena aku mencintaimu, Key. Perasaanku saat ini masih sama dengan tiga tahun lalu. Sungguh."

Aku mengambil secangkir coffe latte di hadapanku. Meminumnya sedikit. Lalu meletakkannya kembali di atas meja.

"Aku tidak bisa, Iz," jawabku setelah mulai bisa menguasai diri.

"Kamu sudah punya pacar, ya?" tanyanya kecewa.

"Iya. Dan mungkin, sebentar lagi aku akan menikah dengannya," jawabku mantap.

"Siapa lelaki itu, Key? Dion?" selidiknya. Dion adalah teman sekelasku saat SMA dulu. Sebelum bertemu dengan Faiz, aku sempat berpacaran dengannya. Tapi hubungan itu tidak berlangsung lama. Hanya tiga bulan. Kemudian, kami memutuskan untuk mengakhirinya secara baik-baik. Selang beberapa minggu, aku bertemu dengan Faiz di pesta ulang tahun Vera, sahabatku. Saat acara berlangsung, Bang Rudi, kakak Vera, mengenalkan aku dengan temannya yang bernama Faiz. Sejak perkenalan itu kami menjadi sering bertemu. Bagaimana tidak? Vera adalah sahabatku. Sama halnya dengan Faiz. Ia sudah menjadi teman akrab Bang Rudi sejak SD. Dari seringnya kami bertemu itulah rasa cinta di antara aku dan Faiz mulai tumbuh. Kami akhirnya berpacaran. Dua tahun kemudian Faiz mendapatkan gelar Sarjana Ekonominya dan diterima di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Jarak. Alasan itu yang mendorong Faiz memutuskan hubungan denganku secara sepihak. Hanya dengan beberapa kata lewat SMS. Tanpa menemuiku. Tanpa meminta pendapatku. Dan tanpa pamit ia pergi meninggalkan Jogja.

"Yang pasti bukan Dion. Aku sudah tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Terakhir kami bertemu saat kelulusan. Sejak itu aku tidak mendengar kabarnya lagi," jelasku.

Melihat Faiz tidak bereaksi, aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan.

"Aku rasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Aku harap kamu bisa mengerti. Senang bisa bertemu kamu lagi." Tanpa menunggu Faiz mengucapkan sesuatu, aku segera meninggalkan cafe.

Faiz masih terpaku di tempat duduknya. Sadar aku tidak lagi di depannya, ia meletakkan selembar uang kertas di atas meja. Lalu berlari keluar. Ia mencoba menghampiriku. Namun segera diurungkannya kembali niat itu saat ia melihatku masuk mobil dengan seorang lelaki. Ia merasa tidak asing dengan lelaki itu. Ia mendekat. Sekedar memastikan diri. "Om Dans," lirihnya kemudian. Begitu mobil hilang dari pandangannya, ia mengambil ponsel dari saku.

**

Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati jendela kaca yang tidak tertutup tirai. Agaknya penghuni kamar semalam lupa menutupnya. Atau mungkin memang sengaja dibiarkan terbuka. Rumput-rumput hijau berbalut embun menyebarkan aroma segar pagi ini. Aku masih meringkuk di atas tempat tidur.

Tapi agaknya matahari enggan berlama-lama menebarkan hangatnya. Aku mulai merasa sentuhan cahayanya tidak lagi membuat kulitku nyaman. Aku terbangun. Mataku terpicing saat berhadapan langsung dengan tatapan matahari. Aku mencoba mengangkat tubuhku. Duduk.

Aku tidak melihat Dans di ranjang. Aku mencari-cari ponselku. Ketemu. Tepat di bawah bantal yang aku tiduri. Ada satu pesan diterima. Dari Dans.

 Sayang, aq ada pertemuan dengan klien. Aq sengaja tdk membangunkanmu karena aq lihat tidurmu lelap sekali. Aq tdk ingin mengganggu. Hati2 di rmh ya? Aq plg sore. I love u, honey...

Aku tidak membalas pesannya. Sudah jam sepuluh pagi. Dans pasti sedang sibuk. Aku meletakkan kembali ponselku di atas tempat tidur. Lalu  beranjak menuju kamar mandi.

***

"Selamat siang?" sapa seorang wanita begitu aku membukakan pintu.

"Siang," balasku sedikit ragu.

Wanita itu tersenyum ramah. Terlihat lesung pipit tersembul dari pipi kanannya. "Boleh saya mengganggu waktu anda sebentar?" lanjutnya.

"Oh, tentu. Kebetulan saya tidak sedang sibuk. Silakan masuk," aku membuka pintu semakin lebar. Wanita itu melangkah masuk. Aku tafsir usianya sekitar tiga puluh sampai tiga puluh tiga tahun. Penampilannya memang sudah tidak seperti remaja lagi. Tapi, ia terlihat sangat anggun dalam balutan gaun hijau tua setinggi lutut bermotif bunga-bunga kecil. Sepatu putih berhak tinggi yang ia kenakan juga memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sepertinya wanita itu pandai merawat diri.

"Silakan duduk," aku mempersilakan.

"Terima kasih," balasnya.

"Maaf. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Mbak kemari? Saya kira, kita belum pernah bertemu sebelumnya," aku membuka pembicaraan.

"Kita memang tidak saling kenal. Tapi, saya rasa kita berdua punya urusan," jawabnya menggantung.

"Maksud, Mbak?" tanyaku penasaran.

"Begini. Saya sengaja datang kesini untuk membicarakan satu hal dengan Adik....."

"Keyla," aku menyebut namaku. "Mbak cukup memanggil nama saya saja."

"Baik, Keyla. Kedatangan saya kemari hanya untuk menanyakan sesuatu. Tepatnya, untuk lebih meyakinkan saya tentang status Keyla sebenarnya," lanjut wanita itu.

"Maaf. Saya tidak paham dengan maksud, Mbak," aku bertanya lagi.

Wanita itu tidak terburu-buru menjawab. Ia memperbaiki posisi duduknya yang agaknya dirasa kurang nyaman. Sambil mengulas senyum akhirnya ia mulai menjelaskan. "Nama saya Rani. Jauh-jauh saya terbang dari Jakarta untuk menemui Keyla."

Diam sejenak.

"Mengenai informasi tentang Keyla, saya dapat dari Faiz."

"Faiz? Apa hubungan Mbak dengan dia?" tanyaku makin penasaran.

"Dia keponakan saya. Ibunya adalah kakak ipar saya," jelasnya.

Aku mulai mengerti.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" aku kembali bertanya.

"Dans," ia menyebutkan sebuah nama. "Dans adalah suami saya. Keyla pasti sudah sangat mengenalnya, bukan?"

Aku terhenyak mendengar Rani mengaku bahwa Dans adalah suaminya. Aku bukan tidak tahu kalau sebenarnya Dans memang sudah berkeluarga. Tapi, tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau aku akan berhadapan langsung dengan istrinya. Aku tidak berkomentar apa-apa. Perasaanku berkecamuk.

"Keyla tidak perlu khawatir. Saya datang kemari dengan maksud baik. Bukan untuk menuntut macam-macam dari Keyla. Saya tahu Keyla pasti seorang gadis yang baik. Kalau tidak, Dans tidak akan mungkin memilihmu.

Satu hal yang perlu Keyla ketahui. Rumah tangga kami tidak sedang bermasalah. Bahkan, bisa dikatakan kami tidak pernah bertengkar. Hanya saja, tuntutan pekerjaan mengharuskannya sering keluar kota. Dia menjadi jarang berkumpul dengan saya dan anak-anak. Karena itu, saya tidak menyalahkan siapapun saat Keyla mulai masuk ke dalam kehidupan Dans."

Aku terdiam. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Keyla sangat mencintai Dans, ya?" Rani bertanya tiba-tiba.

"Sa... saya... mmm..." ucapku terbata-bata.

"Baik. Saya sudah tahu jawabannya. Keyla tidak perlu lagi menjawab pertanyaan saya," Rani memotong kalimatku. Nada bicaranya masih tetap sama. Datar. Penuh rasa keibuan. Tapi, entah kenapa sikapnya itu justru membuatku semakin serba salah.

Aku menundukkan kepala. Jemariku memelintir-melintir rok pendek motif kotak-kotak yang aku kenakan. Pandanganku berlawanan arah dengan pikiranku yang berlarian entah kemana. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.

"Saya heran kenapa Dans tidak pernah mau terbuka tentang keberadaan Keyla. Saya justru mengetahuinya dari orang lain. Padahal, kalau saja dia jujur kepada saya, tentu saya akan merasa lebih senang," Rani berusaha mencairkan suasana.

"Keyla, jika memang kalian saling mencintai, saya tidak keberatan mengizinkannya untuk menikahimu. Saya juga tidak pernah berpikiran untuk memintanya memilih salah satu di antara kita. Cuma satu hal yang saya minta. Saya tidak ingin ada perselingkuhan. Itu saja."

Dadaku berdesir. Ada getar aneh yang tiba-tiba merasuki jantungku. Entah kenapa aku menjadi benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk berbicara, sekedar menatap wajah Rani pun aku tidak sanggup. Malu. Merasa bersalah. Campur aduk menjadi satu.

"Saya tulus menawarkan hal ini kepada Keyla. Meyakinkan Keyla bahwa saya merestui hubungan kalian. Menurut saya, ini memang jalan terbaik untuk kita semua," ucap Rani menenangkan seolah tahu apa yang sedang mendera pikiranku saat ini.

"Saya mohon Keyla mau memikirkan perkataan saya tadi. Maaf apabila kedatangan saya ini tidak berkenan di hati Keyla." Rani berdiri dan berjalan mendekatiku. Kedua tangannya menggenggam bahuku. Menuntunku berdiri. Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menatap matanya. Rani tersenyum.

"Keyla sangat cantik. Dans pasti akan sangat bahagia jika bisa memilikimu." Rani melepaskan kedua tangannya dari bahuku. Kemudian berlalu. Mataku tidak lepas mengikuti tubuh Rani yang kian menjauh. Sampai akhirnya Rani membuka pintu dan hilang dari pandanganku. Lidahku kelu. Tulang-tulangku seperti terlepas dari persendian. Tubuhku tiba-tiba lemas.

****

Udara semakin dingin. Rintik hujan pun mulai berjatuhan. Aku beranjak meninggalkan balkon menghampiri ranjang. Kembali merebahkan diri di atasnya. Seketika air mataku menetes. Sejak Rani datang menemuiku, aku memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Dans. Meninggalkan rumah tempat aku dan Dans sering menghabiskan waktu bersama. Juga mengganti nomor ponsel agar Dans tidak lagi bisa melacak keberadaanku. Aku tahu Dans pasti kebingungan saat ia pulang dan tidak menemukan aku di sana. Tapi, mungkin memang semua harus berakhir seperti ini. Rani tidak pantas diperlakukan tidak adil. Sebagai seorang wanita, ia sempurna. Cantik. Dewasa. Dan sangat baik. Aku tidak tega jika harus membiarkan ia membelaku di atas nalurinya yang sebenarnya hancur berkeping-keping. Tidak. Aku tidak bisa. Lebih baik aku melanjutkan hidup dan pencarianku. Walaupun saat ini, aku seperti seorang manusia yang kehilangan separuh nafas. Air mataku mengalir semakin deras. Aku berusaha menahan sekuat tenaga agar tidak pecah.

Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Tanganku meraih botol kecil berisi obat tidur di atas meja, tepat di samping ranjangku. Aku memutar tutupnya. Kutuang beberapa butir di telapak tangan kiriku. Aku tidak sempat menghitung berapa jumlahnya. Segera kumasukkan semuanya ke dalam mulut. Menelannya dengan air putih yang memang selalu tersedia di atas meja. Kuletakkan botol obat dan gelas berisi air putih itu ke tempat semula. Setelah itu, aku merebahkan tubuhku. Kali ini rasa kantuk mulai datang. Aku menutup mata. Dan akhirnya, aku benar-benar terlelap.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun