Mohon tunggu...
Septi Rusdiyana
Septi Rusdiyana Mohon Tunggu... -

.......tak ada rasa yang abadi......ketika mulai lelah dengan segala perubahan, bukalah album dan cerita lawasmu.......ia akan menghiburmu.......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tak Termiliki

22 Agustus 2017   15:39 Diperbarui: 22 Agustus 2017   16:44 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menundukkan kepala. Jemariku memelintir-melintir rok pendek motif kotak-kotak yang aku kenakan. Pandanganku berlawanan arah dengan pikiranku yang berlarian entah kemana. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.

"Saya heran kenapa Dans tidak pernah mau terbuka tentang keberadaan Keyla. Saya justru mengetahuinya dari orang lain. Padahal, kalau saja dia jujur kepada saya, tentu saya akan merasa lebih senang," Rani berusaha mencairkan suasana.

"Keyla, jika memang kalian saling mencintai, saya tidak keberatan mengizinkannya untuk menikahimu. Saya juga tidak pernah berpikiran untuk memintanya memilih salah satu di antara kita. Cuma satu hal yang saya minta. Saya tidak ingin ada perselingkuhan. Itu saja."

Dadaku berdesir. Ada getar aneh yang tiba-tiba merasuki jantungku. Entah kenapa aku menjadi benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk berbicara, sekedar menatap wajah Rani pun aku tidak sanggup. Malu. Merasa bersalah. Campur aduk menjadi satu.

"Saya tulus menawarkan hal ini kepada Keyla. Meyakinkan Keyla bahwa saya merestui hubungan kalian. Menurut saya, ini memang jalan terbaik untuk kita semua," ucap Rani menenangkan seolah tahu apa yang sedang mendera pikiranku saat ini.

"Saya mohon Keyla mau memikirkan perkataan saya tadi. Maaf apabila kedatangan saya ini tidak berkenan di hati Keyla." Rani berdiri dan berjalan mendekatiku. Kedua tangannya menggenggam bahuku. Menuntunku berdiri. Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menatap matanya. Rani tersenyum.

"Keyla sangat cantik. Dans pasti akan sangat bahagia jika bisa memilikimu." Rani melepaskan kedua tangannya dari bahuku. Kemudian berlalu. Mataku tidak lepas mengikuti tubuh Rani yang kian menjauh. Sampai akhirnya Rani membuka pintu dan hilang dari pandanganku. Lidahku kelu. Tulang-tulangku seperti terlepas dari persendian. Tubuhku tiba-tiba lemas.

****

Udara semakin dingin. Rintik hujan pun mulai berjatuhan. Aku beranjak meninggalkan balkon menghampiri ranjang. Kembali merebahkan diri di atasnya. Seketika air mataku menetes. Sejak Rani datang menemuiku, aku memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Dans. Meninggalkan rumah tempat aku dan Dans sering menghabiskan waktu bersama. Juga mengganti nomor ponsel agar Dans tidak lagi bisa melacak keberadaanku. Aku tahu Dans pasti kebingungan saat ia pulang dan tidak menemukan aku di sana. Tapi, mungkin memang semua harus berakhir seperti ini. Rani tidak pantas diperlakukan tidak adil. Sebagai seorang wanita, ia sempurna. Cantik. Dewasa. Dan sangat baik. Aku tidak tega jika harus membiarkan ia membelaku di atas nalurinya yang sebenarnya hancur berkeping-keping. Tidak. Aku tidak bisa. Lebih baik aku melanjutkan hidup dan pencarianku. Walaupun saat ini, aku seperti seorang manusia yang kehilangan separuh nafas. Air mataku mengalir semakin deras. Aku berusaha menahan sekuat tenaga agar tidak pecah.

Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Tanganku meraih botol kecil berisi obat tidur di atas meja, tepat di samping ranjangku. Aku memutar tutupnya. Kutuang beberapa butir di telapak tangan kiriku. Aku tidak sempat menghitung berapa jumlahnya. Segera kumasukkan semuanya ke dalam mulut. Menelannya dengan air putih yang memang selalu tersedia di atas meja. Kuletakkan botol obat dan gelas berisi air putih itu ke tempat semula. Setelah itu, aku merebahkan tubuhku. Kali ini rasa kantuk mulai datang. Aku menutup mata. Dan akhirnya, aku benar-benar terlelap.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun