Kutahan rasa sakit itu, jalan keluar sudah dekat. Aku berjalan setengah pincang, menyusuri semak-semak menuju cahaya yang ada di depan sana.
Cahaya itu semakin dekat, perlahan sinarnya menyilaukan mataku. Langkah demi langkah aku berjalan, tak henti aku berdoa, berharap menemukan jalan keluar dari hutan yang gelap dan mencekam ini.
Sedikit lagi apa yang di ujung sana akan terlihat, aku mengintip, melihat dari balik semak. Rasa sakit yang kurasakan seakan menghilang saat aku melihat apa yang ada di depan mataku.Â
Sebuah pemandangan yang indah, pepohonan hijau serta bunga-bunga menghiasi tempat itu. Suasanyanya sejuk, angin berhembus halus menembus sela-sela bajuku.Â
Terasa di awan, bersama burung-burung yang terbang bebas kemanapun.Â
Aku berjalan menyusuri jalan kecil yang di pinggirnya di tanami bunga mawar. Aku ingin tahu kemana arah jalan ini berakhir.
Mataku tak henti melihat sekitar, sampai aku tidak sadar darah terus mengalir dari lututku. Di ujung sana samar-samar aku melihat sebuah rumah tua bercatkan putih lengkap dengan patung menyeramkan di kedua sisi depan rumah.
Ku dekati rumah itu, berdiri di depan jendela dan menempelkan mukaku disana untuk melihat apa yang ada di balik jendela itu. Tidak begitu jelas, ku usap jendela itu dengan sikuku, membersihkan debu yang menempel.
Kulihat lagi kedalam sana,bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan hingga terhenti pada sebuah meja yang di atasnya terbaring seseorang. Aku masuk kedalam untuk memastikan apa yang aku lihat.Â
Takut, namun ku coba untuk mendekat, dan membalikkan badan orang itu. Sangat familiar pakaian itu di mataku. Dan benar saja, orang itu adalah Gilang, temannya Reina.
Mukanya pucat, ku pastikan bahwa dia telah meninggal, dengan mulut terbuka dan sedikit darah di tangannya. Kulihat ada sebuah tulisan di meja itu. Aku terkejut saat kubaca tulisan itu. "Lari!!"