Badut
                                                      Oktavia Purnama Dewi
     Terik  membakar Sebagian lengan tangan Varro di tengah perjalanan pulang pada lampu merah jalanan.
" Wah, sudah telat aku," batin Varro sembari menyeka keringat yang memenuhi keningnya.
Kembali mengayuh pedal sepeda usangnya, Varro dengan sigap Ketika lampu berganti warna hijau. Bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu sudah kebal dengan terpaan badai kehidupan.
" Mak, lapar..." varro menyandarkan sepeda di sebelah rumah kayu miliknya. Rumah yang tak begitu besar hanya dikelilingi pagar agar terlihat rapi saja.
" Ayo makan, dari tadi Emak nunggu kamu", kata Emak dengan tatapan sayu.
" Wow... sayur asem, masakan Emak selalu enak, nanti kalau  Varro sudah bisa cari uang sendiri, Varro masakin opor ayam ya, Mak?"
Emak mengangguk, tangannya mengusap lembut kepala Varro. Matanya terlihat berkaca-kaca. Sejak Varro masih berusia satu tahun, Ayah Varro pamit bekerja di kota, kabarnya ayah Varro mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kaki kanannya cidera dan menyebabkan kesulitan dalam bekerja, hingga sekarang tidak pernah pulang dan tanpa kabar.
"Mak, Varro ke rumah Halle boleh ya, ada urusan dikiiitttt", kata Varro sambil mengganti seragam sekolahnya dengan kaus merah bergambar Spiderman.
"Boleh ya, Mak.." ucapnya lagi sambil menjentikan jarinya ala  super hero kesayangannya .
Emak mengangguk tersenyum. Kemudian menggantung seragam Varro di punggung pintu kamar. Varro pun pergi.
***
Hening menggigit malam yang semakin larut. Mata Varro masih akrab dengan menghitung manik kelambu tidur berwarna biru usang.
"Sudah malam, Ro. Saatnya kamu tidur". Suara Emak mengejutkan Varro yang segera menghentikan hitungannya.
Seorang Wanita setengah tua membuka tirai kelambu dan membawa selimut sembari duduk menatap remang wajah Varro.
Varro, anak yang berusia sepuluh tahunan masih saja berjaga. Pastinya ia sedang menuai sepi. Rumah yang selalu memberinya ruang sepi pada sosok bocah berusia dini.
Mimpi Varro tak terhitung jarak. Mulai dari kasih uang emak untuk buat opor ayam sampai bisa menjadi  superhero Spidermen. Bersama mimpinya ia dekap harapan dengan tidur di atas anyaman tikar.
***Â
Sepeda usang menggagas penuh debu menuju sekolah. Betapa dingin melebihi kebisuan pagi dengan tapak kaki penjaja kue untuk menjemput mimpi. Varro menggembol tas keresek hitam dan menggendong tas sekolah bergambar spidermen berwarna biru. Halle sudah menunggu di pintu pagar sekolah.
" Sudah siap kan Ro?" tanya Halle sambil menggembol tas keresek juga. Bintik cahaya terpancar dari sorotan matanya. Seragam merah putih meskipun lusuh tetap menjadi kebanggaan keduanya.
" Siap lah, Bro". jawab Varro sambil menyandarkan sepeda di dinding pagar sekolah. Kebahagian meluncur beringas, menderas mengaduk ketidaksabaran menunggu pulang sekolah.
Siang menerawang putih, lonceng sekolah menandakan bahwa pembelajaran telah usai. Varro dan Halle berlari kecil menuju parkiran tempat ia menaroh sepeda bututnya. Senyum kecil terurai dari bibir mungil mereka.
" Yuk, Le" . Ajak Varro sumingrah. Tangannya membawa buntelan kresek.
"Yuk". Jawab Varro sambil menggembol kresek ke atas pundaknya.
***
Terik membakar trotoar jalanan beraspal pada lampu merah jalanan. Panas dan terik tak lagi bersekat. Tak terbatas ruang dan waktu untuk Varro dan halle pada kostum badut yang melekat pada tubuh legamnya.
Perannya sebagai badut sangat menyita hari-harinya yang fasih memperagakan ekspresi wajah lucu dan tarian hangat bosah tak berdosa. Padanya ia serahkan segenap kemampuannya untuk merangkup recehan demi recehan ke dalam kantong untuk seorang Emak yang menantinya di rumah. Untuk sepiring opor ayam ataupun kaos spidermen baru atau juga sepatu yang sudah terbuka bagian depan karena terlalu usang.
" Hei, sana minggir, ini tempatku  !!! suara lantang seorang lelaki berkostum badut pun  melabrak mengacaukan memasuki situasi yang awalnya tenang. Ya, suara lelaki tua namun terlihat sangar.
Kedua bocah badut terhenyak nyaris terjatuh. Untung saja kostum yang tampak gendut mampu mengganjal agar tak tersungkur.
" kita pindah kah Le..." tanya Varro tanpa membuka tutup kepala badutnya. Nyalinya terpatahkan dengan sosok badut besar yang berdiri disampingnya.
" Ndak usah Ro, ini tempat umum kok!" suara Halle memurnikan perasaan Varro yang panik.
" Mau pindah apa ndak, hei bocah tengik, ini tempat saya!" kata  lelaki berkostum badut itu sambil berjalan laju, sedikit Nampak jalannya pincang.
Kedua bocah ini tak menggubris. Ia tetap saja mennjadi badut jalanan. Kegetiran tak menamatkan semangat untuk menghiba. Tarian lumrah menjelma tekukkan lembut kasih sayang seorang Varro dan Halle.
*** Â Â
Senja tak bersuara. Heningnya cakrawala dipasung rima. Diksi berkelana dalam Langkah varro dan Halle menuju pulang, entah apalagi yang dituju selain rindu pada sang Ibu.
" Kenapa baru pulang, Nak, ayo makan".
Emak, matanya yang tenang ciptakan magrib  menjelang datang. Entah Emak tahu atau tidak, yang Varro rasakan adalah lapar dan uang receh yang ia tabung dalam kaleng khong guan.
Pun...
Sisa Lelah seharian membuat pandangan mata varro menerawang. Perihnya pengharapan dalam menjalani peran badut terhalang oleh lelaki tua yang berusaha menyudahi langkahnya.
" Apa ndak punya PR, Le, kok tadi pulangnya sore sekali. Apa ada masalah di sekolah?" Suara lembut Emak menjalar di setiap pembuluh Varro. Tole panggilan Emak kepada Varro.
" Tadi main,Mak sama Halle. Emak marah kah" , suara Varro bermuara kepelukan Emak. Ada rindu yang memanggil-manggil dalam keheningan malam yang bisu. Bergema sambil mengutus doa agar bersua dengan bapak. Lalu Emak menutup tirai kelambu sambil berbisik " Emak juga rindu bapak, Nak..."
                *** Â
" Ada bapak tua badut itu lagi, Le..." kata Varro sambil melangkah gontai menuju tepi jalan. Peluhnya mengalir deras. Lelaki badut itu berjalan tertatih menghampiri halte.
" Biar saja Var, ini tempat umum. Nggak ada yang bisa melarang kita maen di sini". Halle membuka kepala badutnya.
Cuaca makian meninju kebobrokan para pejabat yang tak memiliki rasa iba pada mereka yang tengah meminta belas kasihan.
" Yuk, Le,,,,sudah lampu merah, yuk nanti nggak dapat loh".
Mereka berlari kecil meski berat dengan beban seragam badut yang menyelimutinya.
" Minggir...kamu itu masih kecil, orang tua kalian harusnya melarang kamu. Tugasmu itu sekolah yang pinter !!! ngerti nggak !!! " bentak Bapak badut sambil mendorong Varro.
Varro nyaris tersungkur. Untungnya ia bisa menahan agar tak jatuh.
" Kita sama-sama cari uang, Pak". Halle berdiri di depan bapak badut dengan suara lantang.
Beberapa kendaraan yang berhenti di lampu merah Kembali berjalan setelah lampu berwarna hijau. Varro memandang letih dengan tersenyum getir.
Sampai suatu kali, napas kembang kempis dilayangkan ke tepi jalan Ketika langit memintal benang-benang hujan meninggalkan wangi tanah dan rerumputan.
" Kita pulang saja" ajak Varro sambil melepas seragam badutnya dan memasukan ke dalam kresek hitam.
" Eh, jangan dulu, Ro..kita masih dapat uang sedikit" wajah Halle menyiratkan jutaan diksi -diksi yang samar.
" tapi Le..."
" Kamu jangan takut sama Bapak badut itu, biar aku yang lawan kalau dia marah lagi"
" Bukan gitu Le, dia kuat daripada kamu, buktinya aku saja hampir jatuh ". Mata Varro menyergap meninggalkan cibiran pemikiran-pemikiran afkiran.
" Kita ndak boleh takut, ayo lanjut, nanti keburu sore, Emak kau bisa marah ".
Halle telah membuat Varro menari dalam remericik resah, dalam aliran hujan di antara sekumpulan teori deret yang menyeret dibayang siluet.
Setiap kali melintas di jalan raya, di lampu merah menonton pawai manusia yang riang gembira, sedih dan susah, Varro dan Halle selalu memberikan tarian dan topeng kebahagiaan dari wajah badut yang dimilikinya. Di antara mobil mewah, truk, gerobak sayur, sampai tumpukan karung goni pada lelaki yang menyelinap dengan penutup kepala terbenam. Ada yang mengulurkan lembaran ribuan ada juga dalaam bentuk recehan. Â Saatnya mereka pulang.
Gulita menghangat pada selembar lima puluh ribuan pada sumringah bibir varro dan Halle.
" Kita dapat banyak, Le. Aku bisa makan enak sama Emak besok".
Langkah ringan kedua bocah menuju remang senja yang menggelegar memecah lantunan ayat-ayat doa.
*** Â
Langkah-langkah kaki menjadi putaran roda kehidupan, tetaplah mencengkram kuat akar tanah kehidupansebagai penguat penopang jika suatu saat angin sepoi itu berubah badai.
"Berangkat, Mak..." pamit Varro sembari mencuim punggung kerut tangan Emak yang setengah renta. Percikan  harapan pada seorang bocah untuk menggapai impian.
" Pulang senja lagi, Varro, sebenarnya apa yang kamu kerjakan, tugas sekolah kok setiap hari?" pandangan Emak sayu. Ada keraguan jelas terlintas di sudut matanya.
" Iya, Mak paling dua hari lagi sudah selesai". Jawab Varro seakan bisa menakar pundi-pundi recehan di lampu merah. seakan bisa tahu kapan ia akan mengakhiri tugas badutnya.
Sekali lagi Varro memandang wajah tua milik emak. Daster biru usang kesayangan Emak tak luput dari pandangan Varro. Wanita yang memiliki warna pada telapak tangan perasa. Yang selalu menunggu cahaya senja di akhir pandang langit.
"Maafkan Varro, Mak...." Ucap bocah berkulit sawo matang itu dalaam hati. Lalu melajukan sepeda menuju gerbang jelajah pundi-pundi receh.
Raga yang dibasahi peluh tak Lelah memberikan senyum dan tarian hangat di persimpangan dan terik surya.
BRAAAKKK
" Varro......Varro....." teriak Halle sambil terpontang panting memaki jalanan yang bergerumun manusia.
"Varoo .....banguun Varro...." Halle mendekap tubuh Varro yang tergenang aliran darah dari kepalanya.
Halle mendongakkan kepalanya memandang orang-orang yang melihatnya, matanya penuh harapan untuk mengetahui siapa yang menabrak sahabat kecilnya itu. Tapi ingatannya terang akan lelaki tua yang menobos keluar dari kerumunan dan meninggalkannya dengan mengendarai motor. Yang terlihat jelas adalah jalannya lelaki tua itu persis dengan bapak badut di lampu merah.
Perlahaan rinai mengguyur jalanan menuju senja. Dengan kemajemukan manusia berlalu mencari teduh. Halle masih memangku tubuh Varro yang lemas.
" Roo.. kita pulang ya.." Halle menahan butiran kristal yang tak terbendung mengalir di sudut matanya. Sesak menyembul pedih dalam dadanya.
"Varro, kamu kenal siapa yang menabrak kamu? Kita ke kantor polisi ya? Varro bangun...!!! " Halle menepuk-nepuk pipi Varro yang semakin pucat.
Ada kebisuan yang bergema, mulut Halle tak lepas mengutus doa di pinggir jalanan yang penuh dengan kubangan air hujan. Di antara semak dan bunga-bunga pucuk merah.
Varro tak bergeming. Tubuhnya terbaring di pangkuan sahabatnya. Tangannya masih menggenggam dua lembar uang ribuan. Seragam badutnya masih dalam kresek hitam di sampingnya. Ia belum memakainya.
Siapa dia ya, apakah dia yang menabrak Varro? Pikiran Halle terus mengusik. Kutukan yang meluncur dari mulut Halle tak dapat dikendalikan. Berharap nasib buruk menimpa lelaki itu.
Seragam badut masih dalam buntelan keesek hitam. Masih tergeletak di pinggir jalan. Halle tak lagi peduli ia terus berjalan sambil menggendong sahabatnya di punggungnya. Terseok-seok menapaki jalanan dan hatinya tak mampu memecahkan misteri siapa  dan apa maksud  lelaki tua itu menabrak Varro.
Di antara jengkal tanah, Halle harus menghela kidung-kidung sumbang sendiri. Dan tak pernah selesai. Ada seraut wajah mengiba memohon agar sahabatnya bisa Kembali tersenyum pada bentala yang bisu.
" Mak..."
Halle masih terpaku di depan pintu. Tubuh Varro masih lemas terkulai dalam pangkuan Halle.
Butiran kristal mengalir hangat pada wajah Emak. Perlahan tangan renta mengusap lembut wajah Varro yang diam. Tak ada kata yang terucap dari bibir Varro yang terus membisu. Matanya masih terpejam tak berdaya. Darah di kepalanya tak henti mengalir. Di gembolnya tak terlepas  lembaran uang limapuluh ribuan dan beberapa lembar dua ribuan. Denyut nadinya telah terhenti.
"Emak ikhlas, Nak..." tubuh Emak bagai memikul ayat-ayat hidup yang penuh dengan janji untuk anaknya.
"Kita makan opor ayam ya, Emak sudah masak untuk kamu". Emak masih mengusap wajah bisu Varro. " Bangun, Ro...bangun, Emak mau memelukmu sekali lagi". Kali ini Emak benar-benar tak bisa membendung tangisnya.
Halle bersandar pada bahu Emak, dan berkata " Varro nitip ini, Mak.." Ia menyerahkan buntelan yang diambil dari genggaman Varro.
" Varro...jangan pergi, kita main lagi besok di lampu merah, bajumu masih ku simpan di sana". Pekik Halle.
Pada langit pukul 9 pagi yang mendung, langit kelabu Nampak murung, seperti ikut melepaskan kepergian Varro, di gundukan tanah basah, Varro beristirahat dengan seribu kesunyian. Ada rindu yang sakral hingga dekapan hangat menghantar paragraph-paragraf duka... selamat jalan Varro.
Varro, semesta menyayangimu. Kamulah yang mengerjab diingatan emak dan aku . Membagi pijarnya pada temaram di hatiku. Aku tahu kamu masih bernyawa di lampu merah jalanan...bersamaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H