Siang menerawang putih, lonceng sekolah menandakan bahwa pembelajaran telah usai. Varro dan Halle berlari kecil menuju parkiran tempat ia menaroh sepeda bututnya. Senyum kecil terurai dari bibir mungil mereka.
" Yuk, Le" . Ajak Varro sumingrah. Tangannya membawa buntelan kresek.
"Yuk". Jawab Varro sambil menggembol kresek ke atas pundaknya.
***
Terik membakar trotoar jalanan beraspal pada lampu merah jalanan. Panas dan terik tak lagi bersekat. Tak terbatas ruang dan waktu untuk Varro dan halle pada kostum badut yang melekat pada tubuh legamnya.
Perannya sebagai badut sangat menyita hari-harinya yang fasih memperagakan ekspresi wajah lucu dan tarian hangat bosah tak berdosa. Padanya ia serahkan segenap kemampuannya untuk merangkup recehan demi recehan ke dalam kantong untuk seorang Emak yang menantinya di rumah. Untuk sepiring opor ayam ataupun kaos spidermen baru atau juga sepatu yang sudah terbuka bagian depan karena terlalu usang.
" Hei, sana minggir, ini tempatku  !!! suara lantang seorang lelaki berkostum badut pun  melabrak mengacaukan memasuki situasi yang awalnya tenang. Ya, suara lelaki tua namun terlihat sangar.
Kedua bocah badut terhenyak nyaris terjatuh. Untung saja kostum yang tampak gendut mampu mengganjal agar tak tersungkur.
" kita pindah kah Le..." tanya Varro tanpa membuka tutup kepala badutnya. Nyalinya terpatahkan dengan sosok badut besar yang berdiri disampingnya.
" Ndak usah Ro, ini tempat umum kok!" suara Halle memurnikan perasaan Varro yang panik.
" Mau pindah apa ndak, hei bocah tengik, ini tempat saya!" kata  lelaki berkostum badut itu sambil berjalan laju, sedikit Nampak jalannya pincang.