" tapi Le..."
" Kamu jangan takut sama Bapak badut itu, biar aku yang lawan kalau dia marah lagi"
" Bukan gitu Le, dia kuat daripada kamu, buktinya aku saja hampir jatuh ". Mata Varro menyergap meninggalkan cibiran pemikiran-pemikiran afkiran.
" Kita ndak boleh takut, ayo lanjut, nanti keburu sore, Emak kau bisa marah ".
Halle telah membuat Varro menari dalam remericik resah, dalam aliran hujan di antara sekumpulan teori deret yang menyeret dibayang siluet.
Setiap kali melintas di jalan raya, di lampu merah menonton pawai manusia yang riang gembira, sedih dan susah, Varro dan Halle selalu memberikan tarian dan topeng kebahagiaan dari wajah badut yang dimilikinya. Di antara mobil mewah, truk, gerobak sayur, sampai tumpukan karung goni pada lelaki yang menyelinap dengan penutup kepala terbenam. Ada yang mengulurkan lembaran ribuan ada juga dalaam bentuk recehan. Â Saatnya mereka pulang.
Gulita menghangat pada selembar lima puluh ribuan pada sumringah bibir varro dan Halle.
" Kita dapat banyak, Le. Aku bisa makan enak sama Emak besok".
Langkah ringan kedua bocah menuju remang senja yang menggelegar memecah lantunan ayat-ayat doa.
*** Â
Langkah-langkah kaki menjadi putaran roda kehidupan, tetaplah mencengkram kuat akar tanah kehidupansebagai penguat penopang jika suatu saat angin sepoi itu berubah badai.