Kedua bocah ini tak menggubris. Ia tetap saja mennjadi badut jalanan. Kegetiran tak menamatkan semangat untuk menghiba. Tarian lumrah menjelma tekukkan lembut kasih sayang seorang Varro dan Halle.
*** Â Â
Senja tak bersuara. Heningnya cakrawala dipasung rima. Diksi berkelana dalam Langkah varro dan Halle menuju pulang, entah apalagi yang dituju selain rindu pada sang Ibu.
" Kenapa baru pulang, Nak, ayo makan".
Emak, matanya yang tenang ciptakan magrib  menjelang datang. Entah Emak tahu atau tidak, yang Varro rasakan adalah lapar dan uang receh yang ia tabung dalam kaleng khong guan.
Pun...
Sisa Lelah seharian membuat pandangan mata varro menerawang. Perihnya pengharapan dalam menjalani peran badut terhalang oleh lelaki tua yang berusaha menyudahi langkahnya.
" Apa ndak punya PR, Le, kok tadi pulangnya sore sekali. Apa ada masalah di sekolah?" Suara lembut Emak menjalar di setiap pembuluh Varro. Tole panggilan Emak kepada Varro.
" Tadi main,Mak sama Halle. Emak marah kah" , suara Varro bermuara kepelukan Emak. Ada rindu yang memanggil-manggil dalam keheningan malam yang bisu. Bergema sambil mengutus doa agar bersua dengan bapak. Lalu Emak menutup tirai kelambu sambil berbisik " Emak juga rindu bapak, Nak..."
                *** Â
" Ada bapak tua badut itu lagi, Le..." kata Varro sambil melangkah gontai menuju tepi jalan. Peluhnya mengalir deras. Lelaki badut itu berjalan tertatih menghampiri halte.