" Roo.. kita pulang ya.." Halle menahan butiran kristal yang tak terbendung mengalir di sudut matanya. Sesak menyembul pedih dalam dadanya.
"Varro, kamu kenal siapa yang menabrak kamu? Kita ke kantor polisi ya? Varro bangun...!!! " Halle menepuk-nepuk pipi Varro yang semakin pucat.
Ada kebisuan yang bergema, mulut Halle tak lepas mengutus doa di pinggir jalanan yang penuh dengan kubangan air hujan. Di antara semak dan bunga-bunga pucuk merah.
Varro tak bergeming. Tubuhnya terbaring di pangkuan sahabatnya. Tangannya masih menggenggam dua lembar uang ribuan. Seragam badutnya masih dalam kresek hitam di sampingnya. Ia belum memakainya.
Siapa dia ya, apakah dia yang menabrak Varro? Pikiran Halle terus mengusik. Kutukan yang meluncur dari mulut Halle tak dapat dikendalikan. Berharap nasib buruk menimpa lelaki itu.
Seragam badut masih dalam buntelan keesek hitam. Masih tergeletak di pinggir jalan. Halle tak lagi peduli ia terus berjalan sambil menggendong sahabatnya di punggungnya. Terseok-seok menapaki jalanan dan hatinya tak mampu memecahkan misteri siapa  dan apa maksud  lelaki tua itu menabrak Varro.
Di antara jengkal tanah, Halle harus menghela kidung-kidung sumbang sendiri. Dan tak pernah selesai. Ada seraut wajah mengiba memohon agar sahabatnya bisa Kembali tersenyum pada bentala yang bisu.
" Mak..."
Halle masih terpaku di depan pintu. Tubuh Varro masih lemas terkulai dalam pangkuan Halle.
Butiran kristal mengalir hangat pada wajah Emak. Perlahan tangan renta mengusap lembut wajah Varro yang diam. Tak ada kata yang terucap dari bibir Varro yang terus membisu. Matanya masih terpejam tak berdaya. Darah di kepalanya tak henti mengalir. Di gembolnya tak terlepas  lembaran uang limapuluh ribuan dan beberapa lembar dua ribuan. Denyut nadinya telah terhenti.
"Emak ikhlas, Nak..." tubuh Emak bagai memikul ayat-ayat hidup yang penuh dengan janji untuk anaknya.