Mohon tunggu...
Nurul Windi Winayanti
Nurul Windi Winayanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Bila kau merasa dunia terlalu gelap, semoga kau bisa menjadi nyala yang tidak hanya memberi terang, namun juga kehangatan. Sebab dunia tak selalu memberikan yang kita inginkan, namun selalu menginspirasi kita untuk mengisi kekosongan tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Rembulan

29 November 2022   08:45 Diperbarui: 29 November 2022   09:10 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Petang mulai menginjakkan kaki-kakinya pada temaram. Dewi malam asyik berlindung dibalik tudung awan ditiup semilir angin pesisir yang berdesir. Langit memang seperti menampakkan kemurungannya akan tetapi tidak pada sebuah desa dipinggir pesisir itu. Suara bisik ibu-ibu di dapur terdengar samar dilatari bunyi gongsengan  antara wajan dan sorthil. Lampu-lampu pun terlihat benderang mengalahkan bulan yang enggan menampakkan keelokannya.

          "Sudahlah nak, itu sudah keputusan bapakmu. Kamu tahu sendiri bapakmu itu jika sudah punya keinginan tidak dapat dicegah. Semua harus mengikuti keinginannya".

          "tapi mak"

          "sudahlah ". Pintu pun ditutup oleh perempuan paruh baya yang wajahnya terliat tegar.

***

          Aku teringat perkataan yang selalu di dengungkan ibu ditelinga ketika aku masih kecil jika menjelang petang aku tidak mau pulang, beliau selalu berkata "jika petang lekaslah pulang, jika tidak nanti kamu dibawa mak Rembu". Hal itu dirasa ampuh untuk membohongi aku dan anak-anak sebayaku jika menjelang petang kami masih asyik bermain.

          Mak Rembu..ya..mak Rembu. Mak Rembu sebenarnya memiliki nama asli Rembulan. Dari cerita emak, dulu ia adalah seorang gadis yang terkenal kecantikannaya sampai ke desa-desa sebelah. Wajahnya bak rembulan tanggal limabelas yang selalu terlihat cerah dan cemelang. Banyak pemuda jatuh hati kepadanya. Beberapa pemuda telah berusaha untuk meminangnya akantetapi hanya kesia-siaan yang didapatkannya. Terkadang malah ada yang sampai berniat bunuh diri. Ah cinta.

***

          "Pakailah pakaian ini nak, ini pakaian yang ibu kenakan saat ibu dilamar bapakmu dulu. Saat itu, ibu merasa menjadi orang paling cantik nak...ayolah lekas pakai baju ini" ucap sang ibu sambil menyeka bulir-bulir embun yang mulai muncul dari sudut matanya.

          "tapi mak...!!" Rembulan sedikit mengeraskan suaranya.

          "apakah kamu sudah tidak sayang lagi pada emakmu ini?! Kamu ini ya emak..emak ya kamu..tidakada bedanya...kita ini satu hanya terpisah raga aja...percaya pada emak...ayo lekas pakai baju ini!!"

          Ruang yang terang benderang terasa gelap, pengap dan sempit dimata Rembulan. Kembang desa itu merasa tak berdaya. Ia harus lepas dari semua ini. Ia melihat kesekeliling kamarnya dan mata sendunya membentur sebuah jendela. Ya .. jendela.. Inilah saatnya.   

          Diruangan yang lain mak Seruni tengah mepersiapkan segala kebutuhan suaminya. Pakaian, sepatu, aksesoris dan segala perlengkapan yang akan membuatnya terlihat gagah. Besok pagi adalah hari penting baginya dan segala sesuatunya harus dipersiapkan terlebih dahulu agar tidak mengundang malu.

          "sudah dipersiapkan semuanya?"

"iya sudah, tinggal mencocokkan saja antara pakaian saat resepsi pagi sore dan malam       hari".

"ya.. bagus kalau begitu.. jangan sampai acara bahagia ini akan berbuntut memalukan jika tidak dipersiapkan semuanya dengan baik".

          Mak Seruni hanya melihat gelagat suaminya tersebut dengan mata sendu akan tetapi berusaha untuk tegar.

          Disisi lain, Rembulan telah berhasil melompati jendela kamarnya. Hamparan hutan bakau membentang dihadapnya. Langit malampun seakan turut mewakili kesedihan Rembulan, titik-titik lembut mulai membelai rambut ikal mayangnya yang terlihat tak lagi terurus. Ia pun lari menembus pekat malam dan rimbun tumbuhan bakau. Menuju ke bukit karang.

"jika aku tidak ada pasti emak akan bahagia hidup bersama bapak, aku bukan    emak...emak bukan aku...aku adalah aku...aku adalah akuuUUU !!" suara Rembulan tertelan debur ombak yang menghantam bukit karang tepi laut. Ia telah berdiri disana.

"Rembulan....!!! sedang apa kau disini??"

Terdengar suara laki-laki yang ia kenal. Rembulan menengok dengan mata nanar yang menyimpan sejuta amarah.

          "Bayu?? Dari mana saja kau?? Mengapa kau baru datang ketika semuanya telah terjadi?? Mengapa tidak dari dulu kau ajak aku pergi bersamamu?? Mengapa??"

Lelaki bertubuh tegap dan masih menggunakan seragam cokelat dengan topi bersematkan bendera merah putih itu kemudian mendekat pada rembulan.

          "Maafkan aku...aku tidak mungkin mengajakmu turut serta, aku disini hanya sebagai prajurit pembantu perang, bukan jendral yang berhak menentukan apa yang akan dilakukannya".

          "sekarang, jika semua sudah jadi seperti ini kau mau apa?? Akad akan dilaksanakan esok pagi.. aku tidak mau semua ini terjadi, aku sayang emak ku, dan aku tidak sampai hati menyakitinya".

Raut muka rembulan semakin menegang. Begitu juga dengan Bayu. Deru ombak semakin memecah keheningan malam yang berselimut kabut tipis. Dibukit itu.

          "bawa aku pergi Bayu"

          "apa?? Aku tidak salah dengar?? Apa yang akan dilakukan ayahmu nanti jika ia tahu aku yang membawamu pergi? Aku tidak punya rumah. Aku hanya punya seorang ibu ringkih dan gubuk yang tak layak bagi wanita sepertimu".

          "saat ini kau masih memikirkan tempat layak dan tidak layak? Perlu kau ingat Bayu, aku dulu juga sepertimu, aku dan emak dulu juga orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya seorang anak sebuah desa miskin karena kemarau panjang. Lalu seorang lelaki paruh baya melamar ibuku dan akhirnya kami diboyongnya kesini. Ke desa pesisir ini".

          Bayu semakin berpikir keras. Tidak mungkin ia membawa lari anak seorang saudagar. Walaupun rembulan adalah anak tirinya yang sebentar lagi akan dijadikan....ah ia tak tega memikirkan kisah hidup Rembulan yang seakan termakan takdir.

          "bagaimana Bayu?? Tolonglah, bawa aku pergi dari tempat ini"

***

          Aku hanya bisa memperhatikan kegiatan yang selalu rutin dilakukan oleh mak Rembu yang terlihat berbeda dari masyarakat di desaku. Pada saat hari cerah, ia akan menjadi seorang tua biasa yang berinteraksi dengan tetangga-tetangganya. Akan tetapi, ketika hujan mulai turun gelagatnya akan berubah. Ia akan duduk diteras rumahnya dan termenung, termenung begitu dalam. Menatap garis-garis hujan yang patah sambil sesekali tersenyum kemudian menangis. Kaki-kaki hujan riang menari di tangannya kala tangan keriput itu terjulur ke arah kucuran hujan. Terkadang, aku dan beberapa anak lain saat bermain hujan-hujanan di dekat rumah mak Rembu, kami akan memperhatikannya dari balik pagar bambu yang berlumut. Dan ketika kesendiriannya terasa diusik, ia akan menengok kearah kami dan tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang hitam kemerahan karena terlalu banyak mengkonsumsi kinang. Pada saat itu kami akan lari terbirit-birit karena teringat cerita ibu kami yang selalu mengatakan jika kami tidak pulang menjelang petang maka akan dibawa mak Rembu dan akan dijadikan anaknya.

***

          Matahari mulai memunculkan sinarnya yang lembut. Membelai desa pesisir setelah semalaman ditelan hujan. Rumah pak Darma, ayah tiri Rembulan telah terlihat ramai. Didapur terdengar lebih ramai lagi. Suara ibu-ibu dengan baju kebaya khas desa yang rata-rata bercorak kembang-kembang lalu diikat bagian kanannnya mulai berceloteh tentang pernikahan saudagar mereka ini.

          "buk, kurang apa ya bu Seruni itu, ia kan cantik, keibuan, bahasanya pun halus tidak seperti kebanyakan perempuan di desa ini. Tapi kenapa masih saja ia melirik wanita lain. Anaknya sendiri lagi".

          "ah, Rembulan kan bukan anak kandungnya, ia hanya anak tiri pak Darma".

"mau anak tiri atau anak kandung kan sama saja. Status Rembulan kan anaknya, masak sekarang mau dijadikan istrinya. Apa tidak ada yang salah dengan pak Darma".

"ah, sudahlah bu ini urusan orang kaya. Orang miskin seperi kita tidak pantas berpikir seperti itu. masih banyak yang harus kita pikirkan. Salah satunya bagaimana jika pak Darma tidak mau meminjamkan uangnya lagi untuk perbaikan perahu suami kita yang sudah reot. Bisa-bisa kelaparan nanti kita bu".

Mereka semua tertawa mendengan perkataan salah seorang ibu yang terlalu jelas menggambarkan realita kehidupa mereka yang terlalu pahit untuk diceritakan, mereka sudah terbiasa dengan semua kemiskinan ini. Kemiskinan bahkan seperti telah bersahabat dengan mereka.

          "Brak....." terdengar suara pintu dibanting. Ibu-ibu yang dari tadi menggunjing pak Darma kemudian terdiam seribu bahasa.

          "mana anakmu Rembulan?? Kau sembunyikan dimana dia?? Apa kau tidak rela jika aku menikahi anakmu??"

          "sa..sa..sa..saya tidak tahu pak, tadi malam ia masih di dalam kamar ini. Bahkan ia telah mencoba pakaian yang akan ia kenakan hari ini" jawab Seruni sambil terisak.

          "mana Badrun..Badrun..BadrunnNNN !!"

          ""iya tuan, saya"

"cepat cari Rembulan, jangan sampai pernikahanku gagal karenan kau tidak menemukan Rembulan"

"baik tuan akan saya cari"

Badrun mencari Rembulan kemana-mana. Di pinggir pantai, di bukit-bukit tapi hasilnya nihil. Ia kemudian berinisiatif untuk menemui sahabat Rembulan. Ning begitu biasa Rembulan memanggil sahabatnya itu.

          "tok..tokk..tok.." Badrun mengetuk pintu rumah Ning dengan tergesa. Keringat mengucur dari sekujur tubuhnya karena telah lelah mencari Rembulan yang hingga kini belum ketemu juga".

          "Ning, saya ingin kamu berbicara sejujurnya apakah kamu mengetahui dimana Rembulan berada kini?"

          Ning hanya menatap mata kakaknya dengan sayu seakan tahu seberapa dalam penderitaan yang akan dihadapi Rembulan jika Ning mengatakan apa yang sebenarya sekarang sedang dirasakan Rembulan.

          "kang, kemarin Rembulan sempat bercerita kepada Ning tentang keinginan bapaknya untuk menikahinya. Ia tertekan kang, sebenarnya ia juga tengah jatuh cinta pada seorang pemuda desa sebelah yang bernama Bayu".

          "Bayu?? Yang sekarang sedang membantu perang melawan Belanda itu??"

"iya, apa kang Badrun tega menyerahkan Rembulan pada bapaknya yang sudah tidak waras itu. Padahal ia tengah mencintai orang lain. Sebenarnya Rembulan cukup tertekan selalu ditinggal pergi berjuang untuk melawan penjajah itu karena pasti nyawa yang akan menjadi taruhannya. Tapi ia berusaha untuk tegar karena itulah risiko mencintai seorang pejuang. Tapi, sekarang ia dihadapkan dengan perasalahan pelik dan ia ingin pergi jauh dari masalah tersebut". Ning menjelaskan permasalahan Rembulan dengan detail seakan satu katapun tak ingin ia lewatkan.

"betulkah seperti itu keadaan Rembulan saat ini Ning?? Aku akan menjadi orang terjahat di jagad ini jika sampai hati menyerahkan Rembulan ke tangan bapaknya. Baiklah, akan ku jaga rahasia ini. Rembulan akan aman".

Badrun pulang ke rumah majikannya itu dengan tangan hampa. Ia telah mempersiapkan diri jika majikannya itu akan memarahinya habis-habisan atau malah membunuhnya.

            "Badrun mana Rembulan, apakah ia ikut bersamamu?"

"maaf tuan, saya tidak menemukan Rembulan, saya sudah mencarinya keana-mana tapi tidak juga ketemu".

"apa..percuma saja kamu hidup, pergi saja kamu!!"

Darma kemudian mengangkat pistol yang sedari tadi dipegangnya dan mulai mengarahkan ke kepala Badrun. Tidak ada yang berani mencegah perbuatan Darma karena saat itu amarah terah menguasainya. Akan tetapi, ketika pelantik pistol mulai diarik, tiba tiba dadanya terasa sakit. Ia pun limbun di atas tanah yang belum juga kering bekas disiram hujan semalam. Para memuda kemudian memeriksa keadaan Darma. Ibu-ibu berteriak-teriak ketakutan. Seruni menatap nanar di sudut raungan.

***

Bayu akhirnya mau membawa Rembulan kerumahnya. Rembulan disambut hangat oleh ibu Bayu yang terlihat ringkih tapi tidak menutup tapak-tapak kecantikannya ketika masih muda.

"kamu siapa nak?"

"saya Rembulan bu, dari desa sebelah"

"Rembulan anak juragan Darma??"

"iya bu"

Kedua wanita itu bercakap-cakap dengan hangat seakan mereka adalah dua makhluk yang pernah dipertemukan sebelumnya.

"nak, ternyata kamu adalah wanita cantik seperti yang pernah diceritakan Bayu dan para pemuda di desa ini. Bayu telah banyak bercerita tentangmu tapi ibu baru memiliki kesempatan bertemu denganmu kali ini. Ternyata kamu lebih cantik dari yang ibu bayangkan".

"jangan seperti itu bu, ibu juga seorang wanita yang cantik, terbukti walaupun sudah tua ibu masih terlihat cantik".

Mereka kemudian tersenyum.

            Beberapa hari berlalu, Darma dikabarkan telah meninggal karena serangan jantung saat menerima kabar bahwa Badrun tidak menemuka Rembulan. Berta itu akhirnya tiba juga di telinga ibu Bayu.

            "nak bapakmu meninggal, tapi mengapa kamu tidak melayatnya?"

Mandengar perkataan ibu Bayu Rembulan mulai terisak dan menceritakan seluruh kisah hidupnya. Mendengar cerita Rembulan, ibu Bayu tersentuh. Tetes-tetes embun mulai keluar dari sudut matanya yang senja.

"menikahlah degan Bayu nak, aku merestuimu. Ibu akan menyampaikan hal ini kepada bayu".

Sore itu, matahari mulai tenggelam dan meninggalkan rona jingga di ufuk barat. Air laut yang jernih kini berwarna biru ke kuning-kuningan. Burung manyar terbang. Bercengkrama dengan waktu.

            "kamu sudah pulang Bayu?"

            "iya, baru saja sampai"

"ibu sudah mendengar kisah Rembulan, sore ini juga aku ingin kau menikahi Rembulan".

dengan wajah kaget bercampur babagia setelah beberapa hari bertempur melawan pihak Belanda, kabar ini serasa air di padang tandus. Bayu kemudian menerima permintaan sang ibu dan mencari penghulu yang akan menikahkan ia dan Rembulan. Penghulu sudah didapat. Hanya tetangga-tetanga dekat saja yang datang menghadiri upacara sakral tersebut. Tidak ada hingar bingar lampu neon apalagi masakan yang lezat. Semua hanya berjalan sederhana. Sesederhana sore itu.

            Satu bulan berlalu semenjak pernikahannya dengan Bayu. Ia mendengar bahwa ibunya meninggal karena penyakit yang telah lama ia derita. Rembulan kembali ke desanya. Melayat sang ibu yang kini terbujur kaku tak berdaya. Rasa bersalah melingkupinya karena ia belum sempat meminta maaf atas kesalahan yang selama ini ia perbuat.

            Beberapa waktu berlalu, hari-hari bahagia telah dilewati Rembulan dan Bayu. Sampai pada suatu hari, perang antara pihak pejuang Indonesia dan Belanda semakin memuncak. Bayu diminta untuk terjun ke medan perang.

"dik, saya pamit pergi dulu. Titip ibu". hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir Bayu.

"iya, saya akan menjaga ibu..ialah satu-satunya keluargaku disini"

Bayu pergi meninggalkan Rembulan dan ibunya dengan perasaan yang tegar. Langit sore mulai meneteskan butir-butir kristalnya. Semburat jingga menusuk kalbu ketiga orang tersebut. Hari-demi hari dilewati Rembulan dan ibu mertuanya dengan penuh penantian. Menanti Bayu yang belum juga kembali. Rembulan selalu menanti kedatangan Bayu di teras depan rumahnya. Ibu Bayu meninggal. Kini Rembulan benar-benar sendiri menanti suamiuya yang tak jua kembali. Setiap mendengan berita bahwa akan ada prajurit yang pulang berperang ia selalu melihatnya dari teras rumahnya dan berharap Bayu datang dengan membawa hadiah sebuah senyum yang tersungging. Ia pun terus menanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun