Mohon tunggu...
Nurul Windi Winayanti
Nurul Windi Winayanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Bila kau merasa dunia terlalu gelap, semoga kau bisa menjadi nyala yang tidak hanya memberi terang, namun juga kehangatan. Sebab dunia tak selalu memberikan yang kita inginkan, namun selalu menginspirasi kita untuk mengisi kekosongan tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Rembulan

29 November 2022   08:45 Diperbarui: 29 November 2022   09:10 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"ibu sudah mendengar kisah Rembulan, sore ini juga aku ingin kau menikahi Rembulan".

dengan wajah kaget bercampur babagia setelah beberapa hari bertempur melawan pihak Belanda, kabar ini serasa air di padang tandus. Bayu kemudian menerima permintaan sang ibu dan mencari penghulu yang akan menikahkan ia dan Rembulan. Penghulu sudah didapat. Hanya tetangga-tetanga dekat saja yang datang menghadiri upacara sakral tersebut. Tidak ada hingar bingar lampu neon apalagi masakan yang lezat. Semua hanya berjalan sederhana. Sesederhana sore itu.

            Satu bulan berlalu semenjak pernikahannya dengan Bayu. Ia mendengar bahwa ibunya meninggal karena penyakit yang telah lama ia derita. Rembulan kembali ke desanya. Melayat sang ibu yang kini terbujur kaku tak berdaya. Rasa bersalah melingkupinya karena ia belum sempat meminta maaf atas kesalahan yang selama ini ia perbuat.

            Beberapa waktu berlalu, hari-hari bahagia telah dilewati Rembulan dan Bayu. Sampai pada suatu hari, perang antara pihak pejuang Indonesia dan Belanda semakin memuncak. Bayu diminta untuk terjun ke medan perang.

"dik, saya pamit pergi dulu. Titip ibu". hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir Bayu.

"iya, saya akan menjaga ibu..ialah satu-satunya keluargaku disini"

Bayu pergi meninggalkan Rembulan dan ibunya dengan perasaan yang tegar. Langit sore mulai meneteskan butir-butir kristalnya. Semburat jingga menusuk kalbu ketiga orang tersebut. Hari-demi hari dilewati Rembulan dan ibu mertuanya dengan penuh penantian. Menanti Bayu yang belum juga kembali. Rembulan selalu menanti kedatangan Bayu di teras depan rumahnya. Ibu Bayu meninggal. Kini Rembulan benar-benar sendiri menanti suamiuya yang tak jua kembali. Setiap mendengan berita bahwa akan ada prajurit yang pulang berperang ia selalu melihatnya dari teras rumahnya dan berharap Bayu datang dengan membawa hadiah sebuah senyum yang tersungging. Ia pun terus menanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun