***
     Matahari mulai memunculkan sinarnya yang lembut. Membelai desa pesisir setelah semalaman ditelan hujan. Rumah pak Darma, ayah tiri Rembulan telah terlihat ramai. Didapur terdengar lebih ramai lagi. Suara ibu-ibu dengan baju kebaya khas desa yang rata-rata bercorak kembang-kembang lalu diikat bagian kanannnya mulai berceloteh tentang pernikahan saudagar mereka ini.
     "buk, kurang apa ya bu Seruni itu, ia kan cantik, keibuan, bahasanya pun halus tidak seperti kebanyakan perempuan di desa ini. Tapi kenapa masih saja ia melirik wanita lain. Anaknya sendiri lagi".
     "ah, Rembulan kan bukan anak kandungnya, ia hanya anak tiri pak Darma".
"mau anak tiri atau anak kandung kan sama saja. Status Rembulan kan anaknya, masak sekarang mau dijadikan istrinya. Apa tidak ada yang salah dengan pak Darma".
"ah, sudahlah bu ini urusan orang kaya. Orang miskin seperi kita tidak pantas berpikir seperti itu. masih banyak yang harus kita pikirkan. Salah satunya bagaimana jika pak Darma tidak mau meminjamkan uangnya lagi untuk perbaikan perahu suami kita yang sudah reot. Bisa-bisa kelaparan nanti kita bu".
Mereka semua tertawa mendengan perkataan salah seorang ibu yang terlalu jelas menggambarkan realita kehidupa mereka yang terlalu pahit untuk diceritakan, mereka sudah terbiasa dengan semua kemiskinan ini. Kemiskinan bahkan seperti telah bersahabat dengan mereka.
     "Brak....." terdengar suara pintu dibanting. Ibu-ibu yang dari tadi menggunjing pak Darma kemudian terdiam seribu bahasa.
     "mana anakmu Rembulan?? Kau sembunyikan dimana dia?? Apa kau tidak rela jika aku menikahi anakmu??"
     "sa..sa..sa..saya tidak tahu pak, tadi malam ia masih di dalam kamar ini. Bahkan ia telah mencoba pakaian yang akan ia kenakan hari ini" jawab Seruni sambil terisak.
     "mana Badrun..Badrun..BadrunnNNN !!"