Lelaki bertubuh tegap dan masih menggunakan seragam cokelat dengan topi bersematkan bendera merah putih itu kemudian mendekat pada rembulan.
     "Maafkan aku...aku tidak mungkin mengajakmu turut serta, aku disini hanya sebagai prajurit pembantu perang, bukan jendral yang berhak menentukan apa yang akan dilakukannya".
     "sekarang, jika semua sudah jadi seperti ini kau mau apa?? Akad akan dilaksanakan esok pagi.. aku tidak mau semua ini terjadi, aku sayang emak ku, dan aku tidak sampai hati menyakitinya".
Raut muka rembulan semakin menegang. Begitu juga dengan Bayu. Deru ombak semakin memecah keheningan malam yang berselimut kabut tipis. Dibukit itu.
     "bawa aku pergi Bayu"
     "apa?? Aku tidak salah dengar?? Apa yang akan dilakukan ayahmu nanti jika ia tahu aku yang membawamu pergi? Aku tidak punya rumah. Aku hanya punya seorang ibu ringkih dan gubuk yang tak layak bagi wanita sepertimu".
     "saat ini kau masih memikirkan tempat layak dan tidak layak? Perlu kau ingat Bayu, aku dulu juga sepertimu, aku dan emak dulu juga orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya seorang anak sebuah desa miskin karena kemarau panjang. Lalu seorang lelaki paruh baya melamar ibuku dan akhirnya kami diboyongnya kesini. Ke desa pesisir ini".
     Bayu semakin berpikir keras. Tidak mungkin ia membawa lari anak seorang saudagar. Walaupun rembulan adalah anak tirinya yang sebentar lagi akan dijadikan....ah ia tak tega memikirkan kisah hidup Rembulan yang seakan termakan takdir.
     "bagaimana Bayu?? Tolonglah, bawa aku pergi dari tempat ini"
***
     Aku hanya bisa memperhatikan kegiatan yang selalu rutin dilakukan oleh mak Rembu yang terlihat berbeda dari masyarakat di desaku. Pada saat hari cerah, ia akan menjadi seorang tua biasa yang berinteraksi dengan tetangga-tetangganya. Akan tetapi, ketika hujan mulai turun gelagatnya akan berubah. Ia akan duduk diteras rumahnya dan termenung, termenung begitu dalam. Menatap garis-garis hujan yang patah sambil sesekali tersenyum kemudian menangis. Kaki-kaki hujan riang menari di tangannya kala tangan keriput itu terjulur ke arah kucuran hujan. Terkadang, aku dan beberapa anak lain saat bermain hujan-hujanan di dekat rumah mak Rembu, kami akan memperhatikannya dari balik pagar bambu yang berlumut. Dan ketika kesendiriannya terasa diusik, ia akan menengok kearah kami dan tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang hitam kemerahan karena terlalu banyak mengkonsumsi kinang. Pada saat itu kami akan lari terbirit-birit karena teringat cerita ibu kami yang selalu mengatakan jika kami tidak pulang menjelang petang maka akan dibawa mak Rembu dan akan dijadikan anaknya.