Sungguh, aku tak sampai hati menyaksikan pecahnya tangisan anak tuna rungu  sepuluh tahun itu ketika berpisah dengan Ibunya. Sang ibu memeluk erat tubuh mungil anaknya. Lalu ia mengeluarkan sebuah origami berbentuk burung dari saku bajunya. Dengan ketulusan hati ia memberikan origami itu kepada anaknya. Dari pancaran netranya aku dapat menangkap naluri keibuan yang begitu besar pada jiwanya.
      "Lara, origami ini yang akan menggantikan ibu untuk menemanimu. Ibu berjanji tahun depan akan menjemputmu saat hujan mengguyur semesta seperti sekarang ini."Â
      Dengan bahasa isyarat tangannya ia mengatakan sesuatu sebagai respon ucapan manis ibunya.
      "Saat hujan nanti aku akan menunggu ibu. Aku pasti merindukan ibu."
      "Ibu juga akan selalu merindukanmu, baiklah Ibu akan pergi sekarang juga. Sampai bertemu lagi sayang, jadilah anak yang baik ."
      Sebelum berlalu sang ibu lantas mengecup kening Lara dengan hangat. Tangis Lara pun semakin deras ketika punggung bidadari hatinya semakin menjauh. Aku hanya bisa mematung kaku melihat peristiwa pahit itu. Andai saja ia tahu bahwa janji Ibunya itu adalah dusta. Aku mendengar dari mulut orang tuaku bahwa Lara sengaja dibuang oleh Ibunya. Hal itu dilakukannya lantaran  tak tega melihat  anaknya mendapat cibiran pedas orang-orang.Â
Segala macam hinaan keji dan caci maki telah ia telan mentah-mentah. Tak sedikit yang mengatakan bahwa kebisuan Lara itu adalah sebuah hukum karma akibat perbuatan yang dilakukan oleh sang Ibu.Â
Memang bukan kehendaknya dilahirkan dari rahim seorang pelacur. Bahkan  Ayahnya saja tak jelas siapa orangnya. Namun ia tak pernah memendam benci atas keaadan itu. Demi kebahagiaan putrinya, Ibu Lara memelas kepada orang tuaku agar mau mengadopsi Lara.
Musim hujan telah datang. Batinku miris melihatnya terpekur dibawah ganasnya hujan. Korneanya memandang lekat setiap orang yang melintas di jalan. Menanti asa yang tak mungkin datang. Bagiku itu hanya mengundang kesedihan untuknya. Kucoba menghampirinya dan kupasangkan payung diatas kepalanya agar tak kena terpaan hujan.Â
Bau tanah basah karena hujan meraba syaraf penciuman hidungku. Irama kilatan petir menggelitik gendang telingaku. Dinginnya tamparan angin dan percikan hujan menusuk-nusuk epidermis kulitku hingga membuatku menggigil disampingnya. Orang tuaku juga berusaha membujuknya agar mau masuk ke dalam rumah. Namun, ia tetap bergeming. Kami pun menyerah akan keputusannya. Â
      "Masuklah ke dalam rumah Lara. Nanti kamu bisa sakit kalau kena hujan terus."
      "Aku akan masuk kalau hujan sudah berhenti." Jawabnya dengan bahasa isyarat tangan
***
Satu dekade kemudian. Ketika hujan melarutkan kesedihan..
      Gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi gadis manis nan anggun. Ia juga masih menanti Ibunya dalam naungan hujan. Menanti harapan palsu. Inikah tipuan kehidupan? Tipuan yang mengundang pilu. Mungkinkah ini noda derita semesta fana? Sungguh menyiksa.
      "Masuklah ke dalam rumah Lara! Jangan menyiksa dirimu sendiri. Ini sudah hampir tengah malam."  Perintahku.
      "Aprilia, aku akan tetap menunggu Ibuku. Sebentar lagi beliau pasti kembali." Jawabnya dengan menggunakan bahasa isyarat tangan.
      Pancaran raut wajahnya sungguh menyedihkan. Menanti dan terus menanti. Kuyup nan dingin menyusup tubuh tak ia hiraukan. Masuk angin bukan hal asing lagi baginya. Seperti biasa sebuah reseptor tertangkap oleh syaraf sensoriku lalu menghantarkannya ke pusat syarafku. Dari pusat syarafku memberi perintah melalui syaraf motorik ke efektor untuk memberikan payung kepadanya tatakala menanti di bawah hujan. Mengapa dunia begitu kejam kepadanya?
      Ketika aku memberikan payung kepadanya, ia jatuh terkulai tak berdaya. Ia pingsan. Kupanggil Ayahku untuk memindahkannya ke dalam rumah. Batinku menjerit miris saat melihat tubuh lemah itu. Betapa sunyi hatinya disesaki rindu tak bermuara. Sedih, pilu, galau, gelisah menjadi dimensi kelam jiwanya.
      Satu jam lebih Lara belum sadar. Di dalam kamarnya kututupi tubuhnya dengan selimut tebal. Pandangan mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah toples kaca berisi puluhan origami berbentuk burung. Di samping toples kaca itu juga ada origami dari Ibunya. Rasa penasaran menyeruak dalam otakku. Kubuka tutup toplesnya dan kulihat ada tulisan di lipatan origami itu. Kubaca deretan kalimat yang kurasa lebih mirip seperti puisi.
      Biarlah derai hujan sebagai saksi bisu
      Biarlah rintihan kilatnya meraung
      Sekalipun tak sanggup kudengar
      Agar sapuannya membebaskan pasung rindu
      Menggelitik ragaku yang enggan letih
      Agar dia tahu labuhan tiada daratan
      Terombang-ambing lautan sunyi tak berujung
      Menembus tangga langit rapuh
      Menerobos jembatan tebing luka
      Membentang asa untuk jiwa semu dirimu
      Yang kuharap menjadi nyata walau sekejap berkedip
      Sel neuron otakku berpikir keras memahami baris-baris kalimat itu. Apa maknanya? Ini sangat sulit kupahami. Kubuka lipatan lainnya. Kulihat tulisan berbeda dari sebelumnya. Dan masih menggunakan konotasi yang membuatku semakin pusing menemukan maknanya.
Bila rintik hujan memecah senyap
Biarkan helaiannya membentang kasih
Menutup dimensi lubang rindu
Jika ini takdir, mengapa jawabannya masih bisu?
Tak bolehkah kutapaki jejak mimpimu
Pelukan hangat jiwamu menggenggam hati
Mengalirkan arus lembut hujan dalam nadi
Adakah kau rasakan? Risau hujan ini
Siksaan rindu yang kau hempaskan
Sungguh menyiksa batinku
Menebar hambar kehidupan semestaku
Aku ingin membuka lagi lipatan yang lain, namun aku melihat tubuhkan bergerak. Ia mulai sadarkan diri. Aku segera memasukkan kembali origaminya dan menutup toplesnya. Tak lama kemudian kelopak matanya terbuka. Beruntung ia tak memergokiku membaca puisi dalam lipatan origaminya.
***
Kubentangkan tubuhku diatas kasur nan empuk. Rasa lelah menguasai ragaku. Lelah karena memikirkan gadis bisu itu. Dalam pikiranku masih menyimpan tanda tanya besar tentang maksud puisi itu. Andai aku sastrawan pasti aku mahir mencerna diksi-diksi itu. Otakku benar-benar buntu. Aku berpikir dan terus berpikir. Segala khalayan menyeruak dalam imajinasiku. Aku merasa seperti pecandu ganja yang kehabisan stok. Mungkin pening ini sudah mencapai stadium empat.
Kucoba menenangkan pikiranku. Kuhela nafas panjang-panjang. Kupenjamkan mataku beberapa menit. Kubiarkan arus darahku mengalir dengan tenang agar dapat menyampaikan oksigen dengan maksimal ke otakku yang pening. Setelah merasa lebih baik, kubuka kembali kelopak mataku. Dan setelah mencari jalan pencerahan, aku menemukan sedikit petunnjuk. Dari kata 'hujan' dan 'rindu' mungki seseorang yang dia maksud dalam puisi itu adalah Ibunya. Aku yakin itu.
Siang ini Lara pergi bersama Ibuku. Inilah kesempatan emas untuk membaca puisi lain di origaminya. Dengan rasa bersalah yang menggunung aku menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Beruntung pintu kamarnya tak terkunci. Aku membuka tutup toples dan lipatan origami. Maafkan aku Lara, telah membaca puisi ini tanpa seizinmu.
Dan hujan yang menyapuh duka
Alunan dentingnya pelan menyeringai
Itu katamu bukan?
Namun adakah kau rasa? Itu tak benar bagiku.
Alunan nada denting hujan tak berirama
Ucapmu tak pernah menyeringai dalam telingaku
Namun menyeringai dalam hatiku
Salahkah bila kulayangkan murka segunung duka
Tentang lisan ambigu yang abstrak
Tiada ujung tiada arah pasti
Hanya sebersit asa hujan yang kau tanamkan
Semangatku semakin terpacu untuk membaca sampai habis. Baru kali pertama ini aku tahu ungkapan hatinya dibalik kebisuannya. Seseorang yang tak pernah mendengar sebuah kata. Mustahil sekali dapat merangkai kata-kata seelok ini. Benar-benar sulit dipercaya. Itulah keajaiban Tuhan. Tak ada yang mustahil jika Tuhan sudah berkehendak. Lagi pula Lara itu gadis jenius. Dulu waktu ia masih bersekolah di SLB ia pernah dinobatkan menjadi siswa teladan.
Dan tetes hujan menyusupkan sepisau duri
Beribu harap kau gantung di punggung rapuhku
Sampai kapan kau hantamkan petir nyanyian hujan?
Pada jeruji rindu, pada belenggu asa
Menyeruak hujan menatap mendung benakku
Jerit kata yang terikat erat oleh hujan
Luruh bersama nyawa sang hujan
Apakah kau juga merasakan sesaknya jiwaku?
Sesak tiada berisi, hanya memori
Tentang dirimu yang mencengkeram alam pikiranku
Tentang memori hujan yang kau hembuskan
Sayang, permadani hujan  tak berujung
Yang kubisa, hanya menantimu bidadariku
Aku semakin yakin orang yang dimaksudnya dalam puisi ini adalah Ibunya. Ya, aku sangat-sangat yakin. Lara, sebesar inikah kerinduanmu pada seseorang yang meninggalkanmu?
Kala euforia hujan bersenandung
Kudapati rinainya berkelana dalam poros
Poros rotasi lingkaran sunyi
Inikah tipuan euforia dalam kesunyian?
Kudaki tikungan kerikil hujan
Yang dingin sedingin hatiku
Menerobos kabut putih tirai hujan
Adakah dirimu di dalam kabut itu
Haruskah kusibak helaian hujan untuk kuresapi sosokmu?
Dan biarlah hujan bercengkrama bersamaku
Menemani hatiku yang mulai roboh terkikis luka
Agar kau tahu keruhnya raga ini dalam penantian
Agar kau tahu hentakan rindu ini melumpuhkan pikiranku
Ketika tinggal satu puisi yang kubaca, namun Lara memergokiku. Ia memasang muka merah berkobar kepadaku. Tatapan matanya setajam tatapan mata elang. Dengan tangkas ia merebut origami di tanganku. Kini aku hanya bisa mematung. Lidahku serasa kaku. Untuk berpindah tempat pun rasanya sulit sekali. Â Rasanya tubuhku telah membatu. " Plaakkkk..." Ia memberi hadiah tamparan untuk pipi kananku.
"Lara, Ibumu itu penipu, ia tak akan pernah kembali. Asal kamu tahu, kamu sengaja dibuang oleh Ibumu agar tak ada lagi yang mencibirmu. Janji Ibumu itu hanya lisan dusta."
Dari gerak bibirku ia tahu arti kalimatku. Kalimat yang tak ingin ia ketahui. Bendungan air matanya pecah. "Plaakkk..." ia melayangkan tamparan untuk kedua kalinya. Segera aku enyah dari hadapannya. Â Rasa bersalah menggerogoti pikiranku. Tetapi aku juga tak tahan bila harus menyimpan rahasia pahit ini. Kini kepalaku serasa pening berlipat-lipat dari sebelumnya. Rasa sakit tamparan ini menjalar ke seluruh sel-sel pipiku. Baru kali ini pipiku merah karena tamparan seseorang yang tersulut emosi tingkat tinggi. Sungguh sakit.
***
Aku bersandar di dekat jendela kamarku. Merenungkan kejadian siang tadi. Sampai saat ini masih sering kupegangi pipi kananku. Sakitnya tak hanya menjalar di seluruh sel-sel pipiku, tetapi sudah menjalar ke seluruh sudut batinku. Aku ingin membalas amarahnya, tetapi itu hanya akan membuat perseteruan kami semakin memanas.
Saat aku luruh dalam renungan, ibuku menghampiriku. Raut wajahnya datar tak berkesan. Aku melempar sedetik pandangan untuknya. Aku tahu Ibu pasti akan menyemburkan makian kepadaku tentang masalahku dengan Lara. Ibu berdiri di sampingku. Ia tak menampakkan senyum manis khasnya. Wajah datarnya semakin membuatku tak ingin memandangnya. Kutunggu makian itu. Dan setelah sekian menit tak kunjung keluar dari mulutnya. Aku pun akhirnya meluncurkan sebuah kalimat untuk mengawali dialog dengannya. Meski aku tahu hanya semburan amarah yang akan diucapkannya.
"Apa Ibu menyalahkan aku?"
"Ibu tak dapat menjawabnya nak. Yang jelas kasih sayang Lara kepada Ibunya tak akan pernah musnah. Tak ada yang dapat menghalanginya. Tak ada yang dapat menghentikan penantiannya."
Ternyata aku salah. Ibu tak sedikit pun marah kepadaku.
"Tapi aku sudah muak dengan kebohongan ini Bu. Jika kita terus menyimpan rahasia ini, kita sama-sama munafiknya."
"Pergilah ke kamar Lara. Minta maaflah kepadanya. Cairkan suasana tegang diantara kalian."
Aku berpikir sebentar hingga aku menuruti perintah Ibu. Kumasuki kamar Lara dengan kedua tangan menyelimuti kedua pipi. Aku khawatir jikalau ia menamparku lagi. Kucoba mendekatinya. Kucoba melontarkan kata maaf kepadanya.
"Maafkan aku Lara. Aku telah lancang mengusik barang milikmu. Maafkan aku yang telah menghujam hinaan keji pada Ibumu. Sekali lagi maafkan aku."
      Ia menatap nanar bola mataku. Hawa negatif masih tersirat dari tatapan netranya. Aku menundukkan kepala. Kapalaku serasa layu tak berdaya berhadapan dengannya. Jantungku seperti ingin meledak, nafasku berat, nadiku berhenti berdetak, dan tubuhku bergetar begitu  dahsyat . Rasa bersalah semakin membuatku lemah di hadapannya. Aku tersungkur dalam lubang penyesalan atas lisannku sendiri. Tak dapat kubayangkan jika orang yang sudah kuanggap adik kandungku sendiri menbenciku.
      "Sudahlah Aprilia, lupakan. Kamu tidak salah. Kurasa yang kamu katakan siang tadi itu tidak salah. Mungkin Ibuku tak akan pernah kembali padaku." Katanya dengan bahasa isyarat. Respon itu sangat mengejutkanku.
      "Yakinlah Lara. Ibumu pasti akan kembali suatu saat nanti."
      Ia menghela napas berat. Tak menggerakkan isyarat tangan sedikitpun atas pernyataanku itu.
      "Lalu origami itu maksudnya apa?"
      "Oh, sebenarnya pusi-puisi dalam origmi itu ingin kujadikan surat-surat berisi curahan hatiku yang ingin aku kirim untuk Ibuku. Aku ingin Ibu membaca puisi dalam surat itu, aku ingin Ibu tahu bahwa aku sangat merindukannya, aku selalu menantinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengirimnya. Alamat Ibuku saja tidak jelas."
      "Ayo ikutlah denganku. Kita akan mengirim surat itu."
      Aku mengajaknya ke pantai yang tak jauh dari rumah. Kami mendekat ke bibir pantai. Ombak kecil membasuh kaki kami. Kutuntun langkah Lara menuju laut. Dan kuhentikan langkahnya tatkala air sudah setinggi lutut.
      "Kamu ingatkan orang jaman dulu mengirim surat botol yang dihanyutkan ke laut. Kita juga akan melalukannya. Bedanya surat ini di dalam toples, bukan botol. Ayo cepat hanyutkan surat-surat hujan itu."
      "Apa? Surat-surat hujan?"
      "Ya. Aku menyebutnya surat-surat hujan, karena selalu hujan yang kau cantumkan dalam surat itu. "
      Surat-surat hujan itu kini telah hanyut bersama langkah ombak. Sang mentari turun dari tangga kerajaan langit kembali ke haribaannya. Helaian hujan pun mengguyur sekujur kulit tubuh kami. Senja ini begitu indah. Di bawah naungan hujan Lara melengkungkan senyum. Senyum sebagai pertanda awal baru lembaran hidupnya. Meski asa untuk bertemu lagi dengan Ibunya masih ada. Tuhan, kumohon sampaikan surat-surat itu kepada Ibunya. Pertemukanlah mereka untuk sekali lagi.
Cerpen ini ditulis tahun 2011 saat penulis masih duduk di bangku SMA. Pada tahun 2013 Cerpen ini menghantarkan penulis menjadi pemenang karya terbaik pada Lomba Cerpen Se-Universitas Negeri Malang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI