Mohon tunggu...
Cerpen

Surat-surat Hujan

27 Desember 2017   20:40 Diperbarui: 27 Desember 2017   20:45 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Lara, Ibumu itu penipu, ia tak akan pernah kembali. Asal kamu tahu, kamu sengaja dibuang oleh Ibumu agar tak ada lagi yang mencibirmu. Janji Ibumu itu hanya lisan dusta."

Dari gerak bibirku ia tahu arti kalimatku. Kalimat yang tak ingin ia ketahui. Bendungan air matanya pecah. "Plaakkk..." ia melayangkan tamparan untuk kedua kalinya. Segera aku enyah dari hadapannya.  Rasa bersalah menggerogoti pikiranku. Tetapi aku juga tak tahan bila harus menyimpan rahasia pahit ini. Kini kepalaku serasa pening berlipat-lipat dari sebelumnya. Rasa sakit tamparan ini menjalar ke seluruh sel-sel pipiku. Baru kali ini pipiku merah karena tamparan seseorang yang tersulut emosi tingkat tinggi. Sungguh sakit.

***

Aku bersandar di dekat jendela kamarku. Merenungkan kejadian siang tadi. Sampai saat ini masih sering kupegangi pipi kananku. Sakitnya tak hanya menjalar di seluruh sel-sel pipiku, tetapi sudah menjalar ke seluruh sudut batinku. Aku ingin membalas amarahnya, tetapi itu hanya akan membuat perseteruan kami semakin memanas.

Saat aku luruh dalam renungan, ibuku menghampiriku. Raut wajahnya datar tak berkesan. Aku melempar sedetik pandangan untuknya. Aku tahu Ibu pasti akan menyemburkan makian kepadaku tentang masalahku dengan Lara. Ibu berdiri di sampingku. Ia tak menampakkan senyum manis khasnya. Wajah datarnya semakin membuatku tak ingin memandangnya. Kutunggu makian itu. Dan setelah sekian menit tak kunjung keluar dari mulutnya. Aku pun akhirnya meluncurkan sebuah kalimat untuk mengawali dialog dengannya. Meski aku tahu hanya semburan amarah yang akan diucapkannya.

"Apa Ibu menyalahkan aku?"

"Ibu tak dapat menjawabnya nak. Yang jelas kasih sayang Lara kepada Ibunya tak akan pernah musnah. Tak ada yang dapat menghalanginya. Tak ada yang dapat menghentikan penantiannya."

Ternyata aku salah. Ibu tak sedikit pun marah kepadaku.

"Tapi aku sudah muak dengan kebohongan ini Bu. Jika kita terus menyimpan rahasia ini, kita sama-sama munafiknya."

"Pergilah ke kamar Lara. Minta maaflah kepadanya. Cairkan suasana tegang diantara kalian."

Aku berpikir sebentar hingga aku menuruti perintah Ibu. Kumasuki kamar Lara dengan kedua tangan menyelimuti kedua pipi. Aku khawatir jikalau ia menamparku lagi. Kucoba mendekatinya. Kucoba melontarkan kata maaf kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun